WILUJENG SUMPING..

DUH

Sabtu, 15 Desember 2012

Istana Negara


istana_merdeka_untuk_website.jpgIstana Merdeka adalah yang paling diingat khalayak diantara enam Istana Kepresidenan meski jelaslah ia bukan yang paling tua, paling megah, atau paling indah. Istana Negara yang berada di belakang dan satu halaman dengannya, jauh lebih dulu dibangun. Istana Bogor jelas lebih luas dan megah. Sementara Istana Yogyakarta mempunyai peran paling besar dalam revolusi kemerdekaan.
Pastilah khalayak tahu bahwa Istana Merdeka adalah tempat kediaman resmi Presiden, khususnya Presiden pertama, dan tempat berlangsungnya upacara-upacara kenegaraan. Ia mendapat tempat khusus di hati rakyat karena bernama Merdeka – perlambang kemenangan perjuangan bangsa. Nama itu menandai berakhirnya penjajahan di Indonesia dan mulainya pemerintahan oleh bangsa sendiri.
Pemberian nama itu mempunyai latar sejarah tersendiri. Pada tanggal 27 Desember 1949 Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat. Acaranya berlangsung di dua tempat: di Istana Gambir, Jakarta, Indonesia, dan Istana Dam, Amsterdam, Belanda. Di Istana Gambir, Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink melakukan upacara itu di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia.
Karena perbedaan waktu antara Amsterdam dan Jakarta, upacara di Istana Gambir itu dimulai menjelang senja. Matahari sudah hampr terbenam ketika lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus berkumandang mengiringi bendera Merah-Putih-Biru untuk terakhir kalinya merayap turun dari puncak tiangnya. Masyarakat yang berkumpul di luar halaman Istana Gamir bersorak-sorak menyaksikan turunnya bendera tiga warna itu. Sorak-sorai kian gemuruh setelah kemudian lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan mengantar bendera Merah-Putih ke puncak tiang. ”Merdeka ! Merdeka! Hidup Indonesia!”.
Sementara di Troonzaal (Bangsal Singgasana) Istana Dam, Amsterdam, Ratu Juliana menandatangani naskah pengakuan kedaulatan itu dan menyerahkan kepada Perdana Menteri Republik Indonesia Mohammad Hatta yang memimpin Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan itu. Untuk pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan di Istana Dam.
Kobaran pekik ”Merdeka” pada senja bersejarah itulah yang kemudian menggerakkan Bung Karno untuk mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka.
 
Bangunan Istana Negara didirikan pada tahun 1796. semula ia adalah rumah Jacob Andries van Braam, mantan Residen Belanda pertama untuk Surakarta yang menjadi kaya-raya karena jabatan-jabatannya dibawah Gubernur Jenderal Daendels. Sedangkan bangunan Istana Merdeka, yang memang dimaksudkan sebagai Istana, dibangun pada tahun 1873 dan selesai enam tahun berikutnya.
Kedua bangunan itu berada di kawasan yang dimasa lalu bernama Weltervreden (dalam bahasa Belanda berarti ”sangat memuaskan”) merupakan kantung permukiman orang-orang Belanda dan terhitung paling elit. Weltervreden kala itu dikenal sebagai kota yang tertata cantik dengan pohon-pohon yang dipangkas rapi seperti di taman-taman Eropa. Pejabat-pejabat dan saudarag-saudagar kaya Belanda segera membangun rumah-rumah besar di Weltervreden.
Terdapat dua taman di Weltervreden, yaitu : Koningsplein (sekarang taman Monas) dan Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Di sisi Koningsplein yang lain, membelakangi taman pada kedua sisi anak sungai Ciliwung, terbentang dua jalan pada saat itu disebut Noordwijk (sekarang Jalan Juanda) dan Rijswijk (sekarang Jalan Veteran). Di Rijkswijk itulah pada tahun 1796 Van Braam membangun sebuah rumah besar yang berhalaman sangat luas dan menghadap ke anak sungai Ciliwung.
Bangunan bekas rumah Van Braam aslinya merupakan bangunan bertingkat dua. Pada tahun 1848, tingkat atasnya diruntuhkan dan bagian depannya dibut lebih lebar untuk menampilkan wajah yang lebih resmi sesuai dengan martabat pembesar yang menghuninya. Di kiri-kanan gedung utama dibangun tempat penginapan untuk para kusir dan ajudan Gubernur Jenderal.
Disamping untuk penginapan Gubernur Jenderal, gedung bekas rumah Van Braam juga menampung funsgi sekretariat umum pemerintahan. Kantor-kantor sekretariat itu terletak di bagian bangunan yang menghadap ke gang yang kemudian memperoleh nama sebagai Gang Secretarie. Dalam perjalanan waktu, gedung itu kemudian tidak mampu menampung semua kegiatan yang semakin meningkat.
Pada tahun 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan untuk membangun sebuah ”hotel” baru dibelakang ”Hotel Gubernur Jenderal” di Rijswijk. Seorang arsitek bernama Drossares dipercayakan untuk merancang gedung baru yang menghadap ke Koningsplein yang kelak bernama Istana Merdeka. Gagasan itu baru tuntas diwujudkan sepuluh tahun kemudian. Sementara itu, bangunan lama yang menghadap Rijswijk akhirnya diperluas.
Istana Negara dan Istana Merdeka dibangun mengikuti konsep rumah panggung untuk memperhitungkan kemungkinan banjir atau pasang surut air. Konsep rumah panggung itu juga berfungsi sebaga sarana aliran udara (ventilasi) untuk menyejukkan isi bangunan. Dengan hadirnya teknologi penyejuk udara di masa modern, bagian bawah ini kemudian ditembok dan diubah menjadi berbagai ruang layanan, seperti dapur, gudang, dan sebagainya.
Gaya arsitektur Pallado tampak jelas dari eksterior kedua gedung ini yang menampilkan saka-saka bercorak Yunani. Ada enam saka bundar laras Doria di bagian depan Istana Merdeka, sedangkan bagian depan Istana Negara menonjolkan 14 saka dengan laras yang sama. Kesan arsitektur Palladio juga terlihat pada bingkai-bingkai jendela dan pintu yang besar disamping lengkung-lengkung gapura di kedua sisi Istana Merdeka. Kedua Istana Jakarta ini mempunyai ciri yang hampir mirip, yaitu serambi depan yang luas dan terbuka. Di Istana Merdeka, serambi itu dicapai dengan mendaki 16 anak tangga batu pualam, langsung dari arah depan. Di Istana Negara, serambinya yang sedikit lebih sempit dicapai dari dua anak tangga di sisi kanan dan kiri, dan bagian depannya ditutup dengan pagar balustrada.
Sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, Insinyur Sukarno dan keluarga semula tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, dan terpaksa mengungsi ke Yogyakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan karena agresi Belanda. Sukarno dan keluarga baru masuk Istana Gambir pada 28 Desember 1949, sehari setelah penyerahan kedaulatan. Sebelumnya Istana Gambir dihuni oleh Dr. Hubertus J. Van Mook, Letnan Gubernur Jenderal, hingga 1948, dan kemudian oleh Dr. L.M.J. Beel, Wakil Tinggi Mahkota.
Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir mengelu-elukan kedatangan Bung Karno dengan pekik kemerdekaan. Semua peristiwa ini dilaporkan secara pandangan mata melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Dengan gaya yang khas, Bung Karno kemudian berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdekan dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara.
Presiden Sukarno memakai sebuah ruang di sisi timur Istana Merdeka sebagai kamar tidurnya. Ruang tidur itu berseberangan dengan ruang kerjanya dan dipisahkan oleh bangsal luas yang dikenal sebagai Ruang Resepsi. Ruang tidur Bung Karno tidak mempunyai kamar mandi sendiri. Bung Karno dan Ibu Fatma menggunakan kamar mandi yang terletak di belakang kamar tidur, bersebelahan dengan kamar tidur Guntur, anak sulung mereka. Semuanya berada di sisi timur Istana Merdeka.
Sisi barat depan Istana Merdeka dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan yang lebih resmi. Di antara serambi depan dan ruang kerja Presiden semula merupakan teras terbuka dengan perabotan dari rotan. Ruangan ini pada masa Presiden Soeharto ditutup tembok. Sebagian menjadi ruang tunggu untuk para duta besar sebelum menyerahkan surat keprecayaan kepada Presiden. Sebagian lagi menjadi ruang tamu Presiden yang kemuadian dikenal sebagai ruang Jepara karena ruangan ini pada masa Presiden Soeharto diisi dengan meja-kursi kayu dan ragam interior dari ukuran Jepara.
Ruang kerja Presiden Sukarno diisi dengan meja dari kayu jati masif, setelan kursi tamu dari kulit, dan dua dinding yang dipenuhi lemari buku tingginya sepertiga dinding. Ruang kerja ini nyaris tidak berubah setelah ditinggalkan Bung Karno dan selama 32 tahun dipergunakan oleh Presiden Soeharto. Baru pada masa Presiden B.J. Habibie ruang tersebut mengalami sediikt perubahan.
Ketika putra-putri Bung Karno masih kecil, mereka tidak dikirim ke sekolah umum. Sebuah gazebo di pelataran tengah diubah menjadi kelas taman kanak-kanak bagi mereka. Gazebo itu di masa Hindia-Belanda dipakai sebagai muziek-koepel – tempat para pemusik bermain pada acara-acara pesta kebun. Guru untuk taman kanak-kanak itu didatangkan ke sana. Anak-anak staf Istana yang seusia juga diajak ”bersekolah” di situ untuk menemani putra-putri Bung Karno. Kebanyakan mereka tinggal di bangunan samping untuk karyawan Istana, di lahan yang sekarang menjadi kompleks Sekretariat Militer.
Di pelataran juga terdapat sebuah bangunan yang disebut ”sanggar”. Bangunan itu terbuat dari kayu, bertingkat dua, dan sering dipakai Bung Karno sebagai studio untuk melukis atau menulis naskah pidato. Kelak di atas lokasi ini Pak Harto membangun Puri Bhakti Renatama yang berfungsi sebagai museum untuk menyimpan lukisan dan benda-benda seni.
Pada masa Bung Karno, bagian-bagian luar Istana Merdeka masih terbuka sehingga merupakan serambi-serambi dan beranda-beranda yang luas. Sekeliling Istana, sekalipun berpagar, tetap memberi kesan terbuka. Beberapa bagian beranda yang terbuka itu dilengkapi dengan setelah kursi-kursi rotan. Di situ kadang-kadang Presiden Sukarno menemui tamu-tamunya, termasuk juga melayani wawancara para wartawan.
Untuk menegaskan Istana Jakarta sebagai tempat tinggal keluarga Presiden dan tempat kerja Presiden dan stafnya maka dirasa perlu menyediakan tempat ibadah di lingkungan itu. Akhirnya dibangunlah Masjid Baiturrahim disamping barat Istana Merdeka dengan arsitek R.M. Soedarsono pada tahun 1958 dan selesai pada tahun 1961. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, masjid itu diperluas pada sisi selatan dengan bangunan simetris dengan sisi utara, sedangkan bagian dalam kubah masjid dihiasi dengan kaligrafi dari ayat-ayat suci Alqur’an.
Setelah membangun Masjid Baiturrahim, Presiden Soekarno juga memerintahkan Soedarsono merancang bangunan tempat tinggal para tamu negara di dalam lingkungan Istana Jakarta. Bangunan bertingkat enam itu disebut Wisma Negara, terletak di sisi barat pelataran dalam Istana Jakarta dan dibangun sepanjang tahun 1962-1964.
Lantai teratas Wisma negara adalah ruang makan dan ruang tamu bagi para tamu agung negara. Lantai lima atalah suite untuk tamu agung setingkat kepala negara, sedangkan lantai empat merupakan suite bagi tamu agung sederajat perdana menteri atau wakil presiden. Wisma Negara juga dilengkapi dengan kantor pos, salon pangkas dan kecantikan, tempat penukaran uang, serta toko cenderamata.
Halaman luas yang menjadi pelataran bagi Istana Merdeka, Istana Negara, dan Wisma Negara juga menjadi surga bagi berbagai macam burung. Sesuai dengan musimnya, ratusan burung betet, perkutut, jalak menyinggahi halaman Istana Jakarta. Bung Karno dulu selalu meminta para staf untuk menyediakan makanan bagi peliharaan burung-burung. Sebagai pecinta kemerdekaan, ia juga dikenal pembenci sangkar burung. Pada masa pemerntahan Presiden Megawati, Taufiq Kiemas, suami Presiden, menanam pohon salam di halaman ini untuk mengundang burung-burung bebas.
Beberapa arca kuno juga menghiasi berbagai sudut pekarangan Istana Jakarta. Salah satu diantaranya adalah arca Dhyani Boddhisattva, yang berasal dari Jawa Tengah pada abad ke-9 merupakan arca langka yang sudah ada disana sejak masa Hindia-Belanda.
Bila Presiden Sukarno sedang berada di Istana Jakarta, sebuah bendera kepresidenan berwarna kuning dengan bintang emas ditengahnya dikibarkan di atas Istana Merdeka. Sejak Presiden Soeharto, penandaan seperti itu tidak dilakukan lagi.
Denyut kehidupan Istana Jakarta berubah sejak Jenderal TNI Soeharto menggantikan Ir. Sukarno. Sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua, Presiden Soeharto memutuskan untuk tinggal di kediaman pribadinya di Jalan Cendana 8, Jakarta. Sejak itu praktis Istana Merdeka dan Istana Negara hanya dipakai sebagai tempat kerja, upacara, dan resepsi kenegaraan.
Pak Harto berkantor di Bina Graha yang terletak di sebelah timur Istana Negara, menghadap ke arah Sungai Ciliwung, kemudian menjadi kantor resmi Pak Harto. Gedung ini berdiri di atas lahan bekas Hotel Dharma Nirmala, bangunan yang pada masa sebelumnya bernama Hotel der Nederlanden dan Raffles House.
Presiden Soeharto mempunyai dua ruang kerja di Bina Graha, yaitu di lantai dasar dan lantai atas. Kedua ruang kerja ini dihubungkan dengan tangga. Ruang kerja di lantai atas biasanya dipakai sebelum menghadiri sidang-sidang kabinet terbatas. Ruang kerja di lantai bawah dipakai untuk menerima tamu-tamu yang berhubungan dengan kegiatan pemerintahan. Untuk menerima tamu negara dan pejabat lembaga tinggi negara, Presiden Soeharto menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka.
Pada dasawarsa terakhir masa pemerintahannya, Pak Harto bahkan makin sering menggunakan kediamannya di Jalan Cendana untuk menerima para tamu. Pada periode itu Pak Harto juga mulai sering menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka pada hari Jum’at agar dekat dengan Masjid Baiturrahim. Beliau juga menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka itu untuk pertemuan-pertemuan yang bersifat khusus.
Tidak adanya kebutuhan untuk kehidupan rumah tangga di Istana Merdeka juga mengubah berbagai fungsi ruangan. Atas persetujuan Presiden Soeharto, bekas kamar tidur Bung Karno pada renovasi tahun 1997 diubah menjadi tempat untuk menyimpan Bendera Pusaka dan naskah asli Proklamasi Kemerdekaan. Patung dada Bung Karno dan Bung Hatta juga ditempatkan di ruang itu. Pada dinding utara ruang pusaka itu dipasang relief yang menggambarkan Sajuti Melik mengetik teks proklamasi, serdangkan pada dinging selatan menggambarkan Ibu Fatmawati menjahit Bendera Pusaka. Diantara semua Presiden Republik Indonesia, Presiden Habibie yang paling sering membawa tamunya mengunjungi Ruang Bendera Pusaka ini.
Bekas ruang tidur Ibu Fatmawati di sisi barat, disamping belakang ruang kerja Presiden, diubah menjadi dua ruang tidur untuk istirahat kepala negara, dilengkapi dengan kamar mandi yang telah direnovasi. Pak Harto hanya menggunakan ruang ini untuk bermalam setiap tanggal 16 Agustus setelah mengikuti upacara ranungan suci di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, menjelang upacara peringata hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ruang Kredensial yaitu bangsal pertama yang dicapai setelah memasuki pintu utama Istana Merdeka dari arah serambi depan, tidak berubah fungsinya. Di situlah para duta besar negara sahabat menyampaikan surat keprecayaan (kredensial) kepada Kepala Negara Republik Indonesia. Di ruang ini pula Kepala Negara setiap tahun menerima para duta besar yang menyampaikan ucapan selamat ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dibelakang Ruang Kredensial terdapat sebuat koridor yang memisahkan Ruang Jepara di sisi barat sedangkan di sisi timur adalah salon yang dipakai sebagai ruang kerja, ruang tamu, dan ruang makan Ibu Negara. Pada masa Presiden Megawari, ruang ini dirombak menjadi Ruang Raden Saleh, khusus untuk menyimpan lima lukisan Raden Saleh.
Melalui koridor yang memisahkan Ruang Jepara dan Ruang Raden Saleh, para tamu bisa melangkah ke bangsal berikutnya, yaitu Ruang Resepsi yang merupakan ruang terluas di Istana Merdeka. Beberapa resepsi kenegaraan khususnya pada 17 Agustus malam diselenggarakan di ruang ini.
Ruang Respsi ini berlanjut ke serambi belakang yang sudah diperluas sejak renovasi tahun 1997. serambi ini semula merupakan teras terbuka, kemudian ditutup pada masa Presiden Soeharto dengan dinding pintu dan jendela kaca yang disesuaikan dengan gaya arsitektur bangunan. Serambi belakang tertutup ini juga bersambung ke sebuah teras terbuka yang menghadap ke pelataran Istana Jakarta. Di bagian atas dinding dalam serambi tersebut dihi8asi dengan relief aksara Arab yang mengandung arti ”damailah mereka yang berkunjung ke tempat ini” pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Di halaman depan Istana Merdeka berdekatan dengan kolam air mancur, berdiri sebuah tiang bendera dari beton setinggi 17 meter. Sebelumnya, pada masa Hindia-Belanda, bendera dikibarkan di puncak Istana Merdeka. Setiap tahun dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan, pada tiang bendera ini dikibarkan duplikat Bendera Pusaka.
Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan di Istana Merdeka mempunyai ciri khas masing-masing, baik pada masa Bung Karno maupun Pak Harto. Pada masa Bung Karno, masyarakat datang berduyun-duyun pada puncak peringatan untuk mendengar pidato Bung Karno serta melihat parade di Jalan Medan Merdeka Utara dengan panggung kehormatan di depan Istana Merdeka. Pada masa Pak Harto, parade militer diubah menjadi Pawai Pembangunan yang diselenggarkan pada setiap tanggal 18 Agustus. Presiden kedua ini juga melembagakan acara makan malam Peringatan Hari Kemerdekaan dengan mengundang para perintis kemerdekaan, veteran dan warakawuri di Istana Merdeka.
Pada masa Pak Harto, upacara dipusatkan pada detik-detik Proklamasi dengan pembacaan Naskah Proklamasi. Upacara pengibaran dan penurunan bendera pada senja hari dikembangkan menjadi seremoni yang anggun. Pada masa inilah mulai diperkenalkan konsep Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang terdiri dari siswa-siswi SMU terpilih yang mewakili provinsi Indonesia.
Pada bulan-bulan lainnya, sejak tahun 1984, setiap senja tanggal 17 diselenggarakan acara tetap di halaman depan Istana Merdeka, yaitu upacara penurunan bendera dan penggantian regu Kawal Jaga Istana. Upacara yang disebut Parade Senja itu disemarakkan dengan atraksi marching band dari berbagai sekolah atau organisasi massa, serta kolone senjata yang diiringi Korps Musik Pasukan Pengamanan Presiden.
Secara bertahap Istana Jakarta pun mengalami perubahan wajah. Kegemaran Ibu Negara Tien Soeharto terhadap ukir-ukiran kayu Jepara dengan segera mengubah penampilan Istana. Di luar bergaya Palladio, didalam bergaya Jepara. Menurut Joop Ave, yang menjabat sebagai Kepala Istana-Istana Presiden pada saat diawalinya renovasi interior, upaya itu juga untuk mengindonesiakan sekaligus memasyarakatkan Istana. Ketika Sampoerno menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan, pengindonesiaan ragam hias tersebut dilanjutkan.
Ruang tamu Presiden di sisi Istana Merdeka misalnya, kemudian diberi nama Ruang Jepara, karena menggunakan ragam hias ukiran Jepara. Pada dinding-dindingnya digantung beberapa relief ukiran kayu berukuran besar. Salah satunya menggambarkan epik Ramayana. Beberapa saka di ruang itu juga dibungkus dengan kayu berukir. Dua pasang saka masif berlaras Ionia, masing-masing di Ruang Kredensial dan di Ruang Jepara, juga dibungkus dengan ukiran Jepara.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, lantai marmer di berbagai ruang utama Istana Merdeka ditutup permadani berwarna merah marun, sedangkan di Istana Negara dengan permadani warna hijau hutan. Permadani itu memakai hiasan dengan ragam hias lung-lungan di sepanjang tepi serta bagian tengahnya. Di Ruang Kredensial, hiasan tengah permadaninnya memakai motif Cakra Manggilingan.
Pilihan warna merah untuk Istana Merdeka dan hijau untuk Istana Negara juga diterapkan pada gorden atau tirai jendela dan pintu di kedua bangunan itu. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, gorden di Istana Merdeka diubah warnanya menjadi biru.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, jabatan Kepala Rumah Tangga Istana diubah menjadi Sekretariat Presiden RI yang pada masa presiden Megawati dijabat oleh Kemal Munawar. Presiden Megawati mengangkat staf khusus Kris Danubrata yang ditugasi melakukan penataan ulang interior Istana-Istana Presiden Republik Indonesia. Hal pertama yang dilakukannya adalah melepaskan semua ukiran-ukiran Jepara dari interior Istana Merdeka dan Istana Negara — kecuali Ruang Jepara yang sengaja dilestarikan sebagai bagian sejarah kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan nuansa asli klasik Eropa pada Istana Jakarta.
Secara bertahap dilakukan pula penggantian gorden dan karpet di Istana Jakarta. Gorden yang semula tebal dan berwarna masif digantikan dengan vitrase semi-transparan yang memberi kesan ringan dan terbuka. Karpet yang semula wall-to-wall diganti dengan lembaran-lembaran luas kapet Persia, Pakistan, dan Afganistan, yang menimbulkan kesan ramah dan akrab.
Kursi dan sofa dari kayu ukiran Jepara dengan bantalan berwarna kuning emas yang semula memenuhi Istana Jakarta juga diganti dengan kursi dan sofa peninggalan kolonial Hindia-Belanda dulu. Sebagian besar mebel itu dikeluarkan kembali dari gudang untuk direnovasi dan diganti bantalan baru dengan warna dan corak yang menimbulkan kesan elegan dan hangat.
Di masa Presiden Megawati dilakukan penataan dan penempatan kembali lukisan serta benda-benda seni lainnya dengan penataan interior yang baru. Beberapa lukisan dikembalikan ke tempatnya semula seperti ketika pada awalnya ditempatkan secara khusus oleh Bung Karno atas pertimbangan estetis dan teknis yang khusus.
Presiden Megawati juga memilih untuk tidak tinggal di Istana Merdeka. Sekalipun demikian Ibu Mega menggunakan Istana Negara sebagai kantornya. Oleh karenanya, Istana Negara perlu mengalami sedikit perubahan penataan interior.
Istana negara pada dasarnya terdiri dari dua balairung besar: Ruang Upacara dan Ruang Jamuan. Sesuai dengan namanya, Ruang Upacara adalah untuk tempat penyelenggaraan upacara-upacara resmi kenegaraan. Di masa Hindia-Belanda, Ruang Upacara dipakai sebagai ballroom untuk pesta-pesta yang disemarakkan dengan acara dansa.
Di Ruang Upacara tersedia dua perangkat gamelan: Jawa dan Bali, masing-masing ditempatkan di timur dan barat dari podium yang berada di sisi selatan Ruang Upacara. Jika upacara mengharuskan diperdengarkan lagu kebangsaan dengan korps musik dari pasukan pengamanan presiden maka ditempatkan di serambi belakang yang hanya dipisahkan oleh dinding belakang podium Ruang Upacara. Auditorium ini dapat menampung seribu hadirin berdiri atau 350 hadirin duduk.
Sedangkan Ruang Jamuan dipakai untuk jamuan kenegaraan atau sebagai tempat para tamu beramah-tamah setelah upacara selesai. Ruangan ini dapat menampung 150 orang. Sebuah luisan Basoeki Abdullah bertema Ratu Kidul merupakan elemen hias utama di ruang ini.
Serambi depan yang terbuka, menghadap ke Jalan Veteran dapat dicapai dengan anak-anak tangga di kedua sisinya. Melalui pintu-pintu kaca, pengunjung akan tiba di ruang depan. Ruang depan ini dipergunakan sebagai tempat untuk tukar-menukar cinderamata antara dua kepala negara sebelum memasuki Ruang Jamuan. Di ruang ii terdapat tiga kandelabra besar dan sepasang cermin antik yang tingginya hampir mencapai tiga meter.
Dari depan ini terdapat sebuah koridor untuk mencapai Ruang Jamuan. Sejumlah lukisan bertema revolusi kemerdekaan karya S. Sudjojono, Dullah, dan Rustamadji dipajang di kedua dinding di sepanjang koridor itu.
Di kedua sisi koridor itu terdapat beberapa ruang khusus. Di sisi barat terdapat suite untuk Wakil Presiden dan ruang tunggu tamu Presiden. Ruang tamu Presiden ini dulunya merupakan Ruang Pusaka untuk menyimpan berbagai benda pusaka. Di ruang ini Presiden menemui tamu-tamunya.
Ruang kerja Presiden berada di sisi timur koridor ini, diapit dengan ruang tunggu tamu dan ruang ajudan. Ruang kerja ini hanya dilengkapi dengan sebuah meja kerja besar, sebuah kursi kerja untuk Presiden, dua kursi hadap, dan sebuah lemari panjang untuk menyiman berbagai benda seni dari keramik dan perak. Di belakang ruang kerja ini terdapat ruang istirahat dan ruang makan bagi Presiden.
Pemerintahan Presiden Soeharto berakhir dalam sebuah upacara mendadak di Ruang Kredensial Istana Merdeka pada tanggal 21 Mei 1998. dalam acara singkat yang disiarkan langsung melalui televisi, Wakil Presdien Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung untuk memulai tugasnya sebagai Presdien Republik Indonesia yang ketiga.
Presiden Habibie tinggal di kediaman pribadi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, dan berkantor di Istana Merdeka. Ia menggunakan kantor di Bina Graha hanya pada saat-saat tertentu, misalnya bila memimpin Sidang Kabinet Terbatas. Untuk itu, dilakukan berbagai penyesuaian untuk membuat ruang kerja di Istana Merdeka itu memenuhi syarat guna menunjang kerja seorang Presiden yang akrab dengan teknologi baru.
Sebuah setelah sofa dari kulit bergaya Chesterfield ditempatkan di ruang kerja. Di atas meja kerja ditempatkan dua komputer. Pada batang lampu-duduk di atas meja kerja. Presiden Habibie menggantungkan sebuah boneka beruang kecil yang didapatnya dari seorang teman sebagai kenang-kenangan.
Irama kerja Presiden Habibie berbeda dengan irama kerja kedua pendahulunya. Sebagai orang yang bekerja tanpa henti hingga larut malam, Pak Habibie baru memulai acaranya di Istana Merdeka pada pukul sepuluh pagi. Kadang-kadang ia tidak keluar dari Istana hingga menjelang tengah malam. Pada hari Sabtu, ia mengkhususkan waktunya di Istana Merdeka untuk menerima wartawan yang hendak mewawancarainya.
Untuk menerima tamu-tamu diantara dua kegiatan di Istana Negara dan Istana Merdeka, Presiden Habbie kadang-kadang menggunakan salah satu ruang di Puri Bhakti Renatama. Ini juga demi alasan praktis karena gedung itu terletak dalam perjalanan antara kedua Istana. Untuk jumpa pers, ia sering mengundang para wartawan ke Wisma Negara. Presiden Habibie juga sering memanfaatkan ruang makan yang berbeda untuk acara santap siangnya. Ia sering membawa sendiri makan siangnya dari rumah.
Presiden Habibie hanya sempat memerintah selama 13 bulan, dan menyerahkan kepemimpinan bangsa Indonesia kepada Presiden Abdurrahman Wahid, yang biasa dipanggil Gus Dur. Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur memindahkan keluarganya ke Istana Merdeka. Ia menggunakan ruang tidur yang semula dipergunakan Bung Karno di Istana Merdeka.
Gaya hidup Gus Dur yang sangat terbuka memberi warna baru degup kehidupan Istana Jakarta. Seringkali Istana ”hidup” selama 24 jam karena berbagai jamuan dan pertemuan keluarga yang menghadirkan tamu berjumlah besar.
Gus Dur juga bekerja di ruang kerja Bung Karno. Sebaliknya, Presiden Megawati justru tidak menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka sebagai kantornya, melainkan salah satu ruangan di Istana Negara.
Pada masa Presiden Megawati dipersiapkan rencana memindahkan Kantor Presiden ke Puri Bhakti Renatama yang terletak di pelataran dalam antara Istaa Merdeka dan Istana Negara. Bangunan tambahan itu dibangun semasa Presiden Soeharto sebagai museum untuk menyiman lukisan dan benda-benda seni serta benda-benda hadiah.
Tetapi karena koleksi lukisan, benda seni, dan benda hadiah terus bertambah, museum itu tidak mampu lagi menampung semuanya. Gedung Bina Graha yang semula menjadi Kantor Presiden diubah fungsinya menjadi museum untuk menyimpan semua koleksi benda seni yang tidak dipajang di Istana. Sedangkan bekas bangunan museum itu direnovasi menjadi kantor Presiden yang baru, lengkap dengan ruang  untuk konferensi pers dan ruang Rapat Kabinet.
Baik pada masa penjajahan maupun masa kemerdekaan, Istana Negara dan Istana Merdeka sarat dengan berbagai puncak peristiwa sejarah. Di Istana Rijswijk pada tahun 1829 Gubernur Jenderal G.A.G. baron Van Der Capellen mendengarkan rancana Jenderal Hendrik Merkus baron De Kock untuk menumpas pemberontakan Diponegoro. Sebagai Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda De Kock berhasil memerpdaya Diponegoro pada awal 1830 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Graaf Van Den Bosch.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Negara menjadi saksi sejarah atas penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati pada hari Selasa, 25 Maret 1947. Persetujuan ini antara lain menetapkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda akan bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdasarkan prinsip federasi. Setahun kemudian, pada tanggal 13 Maret 1948, Istana Negara kembali menjadi tuan rumah untuk pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus J. Van Mook.
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, beberapa puncak peristiwa sejarah yang terjadi di Istana Merdeka dan Istana Negara antara lain adalah: pembubaran Republik Indonesia Serikat dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950. Dekrit Presiden Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 di depan Istana Merdeka pada 5 Juli 1959, pidato Dekrit Ekonomi di Istana Negara pada tanggal 28 Maret 1963 sebagai akibat ditolaknya permintaan utang kepada IMF (Dana Moneter Internasional). Di masa Presiden Sukarno halaman Istana Merdeka juga beberapa kali dipakai untuk pawai raksasa.
Isu tentang ”pengepungan” Istana Jakarta oleh sekelompok tentara pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto tampaknya mengulangi insiden serupa yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Presiden Sukarno. Ketika itu, Presiden Sukarno segera meninggalkan Istana Jakarta dengan helikopter menuju Istana Bogor.
Ruang Kredensial Istana Merdeka menjadi perhatian dunia ketika pada tanggal 21 Mei 1998 dilangsungkan upacara singkat pengambilan sumpah Presiden Habibie yang disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru dunia. Sekelompok mahasiswa sempat mendekati halaman depan Istana Merdeka untuk melakukan unjuk rasa.
Hampir semua kepala negara dan kepala pemerintahan dari seluruh dunia telah mendaki anak-anak tangga Istana Merdeka di Jakarta. Nama-nama mereka tercatat dalam daftar panjang para tamu negara di Istana Jakarta. Beberapa nama besar dalam sejarah dunia yang pernah berkunjung ke Istana Jakarta antara lain adalah: Shri Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri Indira Gandhi, Ratu Elizabeth, Raja Norodom Sihanouk, Jaksa Agung Robert Kennedy, Presiden Nelson Mandela, Kanselir Helmut Kohl, Presiden Bill Clinton, dan Putri Diana.
Sampai kini, tercatat 23 kepala pemerintahan yang pernah memakai kompleks Istana Jakarta ini, yaitu: 15 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, tiga Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara ke-16 Jepang di Jawa), dan lima orang Presiden Indonesia. Dari 15 Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, hanya empat orang yang benar0benar tinggal di Istana Waltevreden; yang lain menetap di Istana Buitenzorg dan hanya datang ke Batavia untuk menghadiri pertemuan Raad van Indie. Hanya dua orang Presiden Republik Indonesia yang pernah tinggal di kompleks Istana Jakarta yaitu Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar