|
Istana Merdeka adalah yang paling diingat
khalayak diantara enam Istana Kepresidenan meski jelaslah ia bukan yang paling
tua, paling megah, atau paling indah. Istana Negara yang berada di belakang dan
satu halaman dengannya, jauh lebih dulu dibangun. Istana Bogor jelas lebih luas
dan megah. Sementara Istana Yogyakarta mempunyai peran paling besar dalam
revolusi kemerdekaan.
Pastilah khalayak tahu bahwa Istana Merdeka
adalah tempat kediaman resmi Presiden, khususnya Presiden pertama, dan tempat
berlangsungnya upacara-upacara kenegaraan. Ia mendapat tempat khusus di hati rakyat karena
bernama Merdeka – perlambang kemenangan perjuangan bangsa. Nama itu menandai
berakhirnya penjajahan di Indonesia dan mulainya pemerintahan oleh bangsa
sendiri.
Pemberian nama itu mempunyai latar sejarah
tersendiri. Pada tanggal 27 Desember 1949 Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan
Republik Indonesia Serikat. Acaranya berlangsung di dua tempat: di Istana
Gambir, Jakarta, Indonesia, dan Istana Dam, Amsterdam, Belanda. Di Istana
Gambir, Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink melakukan upacara itu di
hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Ketua Delegasi Republik
Indonesia.
Karena perbedaan waktu antara Amsterdam dan
Jakarta, upacara di Istana Gambir itu dimulai menjelang senja. Matahari sudah
hampr terbenam ketika lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus berkumandang mengiringi bendera Merah-Putih-Biru untuk
terakhir kalinya merayap turun dari puncak tiangnya. Masyarakat yang berkumpul
di luar halaman Istana Gamir bersorak-sorak menyaksikan turunnya bendera tiga
warna itu. Sorak-sorai kian gemuruh setelah kemudian lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan mengantar
bendera Merah-Putih ke puncak tiang. ”Merdeka ! Merdeka! Hidup Indonesia!”.
Sementara di Troonzaal (Bangsal Singgasana) Istana
Dam, Amsterdam, Ratu Juliana menandatangani naskah pengakuan kedaulatan itu dan
menyerahkan kepada Perdana Menteri Republik Indonesia Mohammad Hatta yang
memimpin Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan itu. Untuk pertama kalinya
lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan di Istana Dam.
Kobaran pekik ”Merdeka” pada senja bersejarah
itulah yang kemudian menggerakkan Bung Karno untuk mengubah nama Istana Gambir
menjadi Istana Merdeka.
Bangunan Istana Negara didirikan pada tahun 1796.
semula ia adalah rumah Jacob Andries van Braam, mantan Residen Belanda pertama
untuk Surakarta yang menjadi kaya-raya karena jabatan-jabatannya dibawah Gubernur
Jenderal Daendels. Sedangkan bangunan Istana Merdeka, yang memang dimaksudkan
sebagai Istana, dibangun pada tahun 1873 dan selesai enam tahun berikutnya.
Kedua bangunan itu berada di kawasan yang dimasa
lalu bernama Weltervreden (dalam bahasa Belanda berarti ”sangat memuaskan”)
merupakan kantung permukiman orang-orang Belanda dan terhitung paling elit.
Weltervreden kala itu dikenal sebagai kota yang tertata cantik dengan
pohon-pohon yang dipangkas rapi seperti di taman-taman Eropa. Pejabat-pejabat
dan saudarag-saudagar kaya Belanda segera membangun rumah-rumah besar di Weltervreden.
Terdapat dua taman di Weltervreden, yaitu :
Koningsplein (sekarang taman Monas) dan Waterlooplein (sekarang Lapangan
Banteng). Di sisi Koningsplein yang lain, membelakangi taman pada kedua sisi
anak sungai Ciliwung, terbentang dua jalan pada saat itu disebut Noordwijk
(sekarang Jalan Juanda) dan Rijswijk (sekarang Jalan Veteran). Di Rijkswijk
itulah pada tahun 1796 Van Braam membangun sebuah rumah besar yang berhalaman
sangat luas dan menghadap ke anak sungai Ciliwung.
Bangunan bekas rumah Van Braam aslinya merupakan
bangunan bertingkat dua. Pada tahun 1848, tingkat atasnya diruntuhkan dan
bagian depannya dibut lebih lebar untuk menampilkan wajah yang lebih resmi
sesuai dengan martabat pembesar yang menghuninya. Di kiri-kanan gedung utama
dibangun tempat penginapan untuk para kusir dan ajudan Gubernur Jenderal.
Disamping untuk penginapan Gubernur Jenderal,
gedung bekas rumah Van Braam juga menampung funsgi sekretariat umum
pemerintahan. Kantor-kantor sekretariat itu terletak di bagian bangunan yang menghadap
ke gang yang kemudian memperoleh nama sebagai Gang Secretarie. Dalam perjalanan
waktu, gedung itu kemudian tidak mampu menampung semua kegiatan yang semakin
meningkat.
Pada tahun 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer
mengajukan permohonan untuk membangun sebuah ”hotel” baru dibelakang ”Hotel
Gubernur Jenderal” di Rijswijk. Seorang arsitek bernama Drossares dipercayakan
untuk merancang gedung baru yang menghadap ke Koningsplein yang kelak bernama
Istana Merdeka. Gagasan itu
baru tuntas diwujudkan sepuluh tahun kemudian. Sementara itu, bangunan lama
yang menghadap Rijswijk akhirnya diperluas.
Istana Negara dan Istana Merdeka dibangun
mengikuti konsep rumah panggung untuk memperhitungkan kemungkinan banjir atau
pasang surut air. Konsep rumah panggung itu juga berfungsi sebaga sarana aliran
udara (ventilasi) untuk menyejukkan isi bangunan. Dengan hadirnya teknologi
penyejuk udara di masa modern, bagian bawah ini kemudian ditembok dan diubah
menjadi berbagai ruang layanan, seperti dapur, gudang, dan sebagainya.
Gaya arsitektur Pallado tampak jelas dari
eksterior kedua gedung ini yang menampilkan saka-saka bercorak Yunani. Ada enam saka bundar laras Doria di bagian
depan Istana Merdeka, sedangkan bagian depan Istana Negara menonjolkan 14 saka
dengan laras yang sama. Kesan arsitektur Palladio juga terlihat pada
bingkai-bingkai jendela dan pintu yang besar disamping lengkung-lengkung gapura
di kedua sisi Istana Merdeka. Kedua Istana Jakarta ini mempunyai ciri yang
hampir mirip, yaitu serambi depan yang luas dan terbuka. Di Istana Merdeka,
serambi itu dicapai dengan mendaki 16 anak tangga batu pualam, langsung dari
arah depan. Di Istana Negara, serambinya yang sedikit lebih sempit dicapai dari
dua anak tangga di sisi kanan dan kiri, dan bagian depannya ditutup dengan
pagar balustrada.
Sebagai Presiden pertama Republik Indonesia,
Insinyur Sukarno dan keluarga semula tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56,
Jakarta, dan terpaksa mengungsi ke Yogyakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan
karena agresi Belanda. Sukarno dan keluarga baru masuk Istana Gambir pada 28
Desember 1949, sehari setelah penyerahan kedaulatan. Sebelumnya Istana Gambir
dihuni oleh Dr. Hubertus J. Van Mook, Letnan Gubernur Jenderal, hingga 1948,
dan kemudian oleh Dr. L.M.J. Beel, Wakil Tinggi Mahkota.
Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir
mengelu-elukan kedatangan Bung Karno dengan pekik kemerdekaan. Semua peristiwa ini dilaporkan secara
pandangan mata melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Dengan gaya yang khas,
Bung Karno kemudian berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya
adalah mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdekan dan Istana Rijswijk
menjadi Istana Negara.
Presiden Sukarno memakai sebuah ruang di sisi
timur Istana Merdeka sebagai kamar tidurnya. Ruang tidur itu berseberangan
dengan ruang kerjanya dan dipisahkan oleh bangsal luas yang dikenal sebagai
Ruang Resepsi. Ruang tidur Bung Karno tidak mempunyai kamar mandi sendiri. Bung
Karno dan Ibu Fatma menggunakan kamar mandi yang terletak di belakang kamar
tidur, bersebelahan dengan kamar tidur Guntur, anak sulung mereka. Semuanya
berada di sisi timur Istana Merdeka.
Sisi barat depan Istana Merdeka dipergunakan bagi
kegiatan-kegiatan yang lebih resmi. Di antara serambi depan dan ruang kerja Presiden semula merupakan teras
terbuka dengan perabotan dari rotan. Ruangan ini pada masa Presiden Soeharto
ditutup tembok. Sebagian menjadi ruang tunggu untuk para duta besar sebelum
menyerahkan surat keprecayaan kepada Presiden. Sebagian lagi menjadi ruang tamu
Presiden yang kemuadian dikenal sebagai ruang Jepara karena ruangan ini pada
masa Presiden Soeharto diisi dengan meja-kursi kayu dan ragam interior dari
ukuran Jepara.
Ruang kerja Presiden Sukarno diisi dengan meja
dari kayu jati masif, setelan kursi tamu dari kulit, dan dua dinding yang
dipenuhi lemari buku tingginya sepertiga dinding. Ruang kerja ini nyaris tidak
berubah setelah ditinggalkan Bung Karno dan selama 32 tahun dipergunakan oleh
Presiden Soeharto. Baru pada masa Presiden B.J. Habibie ruang tersebut
mengalami sediikt perubahan.
Ketika putra-putri Bung Karno masih kecil, mereka
tidak dikirim ke sekolah umum. Sebuah gazebo
di pelataran tengah diubah menjadi kelas taman kanak-kanak bagi mereka.
Gazebo itu di masa Hindia-Belanda dipakai sebagai muziek-koepel – tempat para pemusik bermain pada acara-acara pesta
kebun. Guru untuk taman kanak-kanak itu didatangkan ke sana. Anak-anak staf
Istana yang seusia juga diajak ”bersekolah” di situ untuk menemani putra-putri
Bung Karno. Kebanyakan mereka tinggal di bangunan samping untuk karyawan
Istana, di lahan yang sekarang menjadi kompleks Sekretariat Militer.
Di pelataran juga terdapat sebuah bangunan yang
disebut ”sanggar”. Bangunan itu terbuat dari kayu, bertingkat dua, dan sering
dipakai Bung Karno sebagai studio untuk melukis atau menulis naskah pidato.
Kelak di atas lokasi ini Pak Harto membangun Puri Bhakti Renatama yang
berfungsi sebagai museum untuk menyimpan lukisan dan benda-benda seni.
Pada masa Bung Karno, bagian-bagian luar Istana
Merdeka masih terbuka sehingga merupakan serambi-serambi dan beranda-beranda yang
luas. Sekeliling Istana, sekalipun berpagar, tetap memberi kesan terbuka.
Beberapa bagian beranda yang terbuka itu dilengkapi dengan setelah kursi-kursi
rotan. Di situ kadang-kadang Presiden Sukarno menemui tamu-tamunya, termasuk
juga melayani wawancara para wartawan.
Untuk menegaskan Istana Jakarta sebagai tempat
tinggal keluarga Presiden dan tempat kerja Presiden dan stafnya maka dirasa
perlu menyediakan tempat ibadah di lingkungan itu. Akhirnya dibangunlah Masjid
Baiturrahim disamping barat Istana Merdeka dengan arsitek R.M. Soedarsono pada
tahun 1958 dan selesai pada tahun 1961. Pada masa pemerintahan Presiden
Habibie, masjid itu diperluas pada sisi selatan dengan bangunan simetris dengan
sisi utara, sedangkan bagian dalam kubah masjid dihiasi dengan kaligrafi dari
ayat-ayat suci Alqur’an.
Setelah membangun Masjid Baiturrahim, Presiden
Soekarno juga memerintahkan Soedarsono merancang bangunan tempat tinggal para
tamu negara di dalam lingkungan Istana Jakarta. Bangunan bertingkat enam itu
disebut Wisma Negara, terletak di sisi barat pelataran dalam Istana Jakarta dan
dibangun sepanjang tahun 1962-1964.
Lantai teratas Wisma negara adalah ruang makan dan
ruang tamu bagi para tamu agung negara. Lantai lima atalah suite untuk tamu agung setingkat kepala negara, sedangkan lantai
empat merupakan suite bagi tamu agung
sederajat perdana menteri atau wakil presiden. Wisma Negara juga dilengkapi
dengan kantor pos, salon pangkas dan kecantikan, tempat penukaran uang, serta
toko cenderamata.
Halaman luas yang menjadi pelataran bagi Istana
Merdeka, Istana Negara, dan Wisma Negara juga menjadi surga bagi berbagai macam
burung. Sesuai dengan
musimnya, ratusan burung betet, perkutut, jalak menyinggahi halaman Istana
Jakarta. Bung Karno dulu selalu meminta para staf untuk menyediakan makanan
bagi peliharaan burung-burung. Sebagai pecinta kemerdekaan, ia juga dikenal
pembenci sangkar burung. Pada masa pemerntahan Presiden Megawati, Taufiq
Kiemas, suami Presiden, menanam pohon salam di halaman ini untuk mengundang
burung-burung bebas.
Beberapa arca kuno juga menghiasi berbagai sudut
pekarangan Istana Jakarta. Salah satu diantaranya adalah arca Dhyani
Boddhisattva, yang berasal dari Jawa Tengah pada abad ke-9 merupakan arca
langka yang sudah ada disana sejak masa Hindia-Belanda.
Bila Presiden Sukarno sedang berada di Istana
Jakarta, sebuah bendera kepresidenan berwarna kuning dengan bintang emas
ditengahnya dikibarkan di atas Istana Merdeka. Sejak Presiden Soeharto,
penandaan seperti itu tidak dilakukan lagi.
Denyut kehidupan Istana Jakarta berubah sejak
Jenderal TNI Soeharto menggantikan Ir. Sukarno. Sebagai Presiden Republik
Indonesia yang kedua, Presiden Soeharto memutuskan untuk tinggal di kediaman
pribadinya di Jalan Cendana 8, Jakarta. Sejak itu praktis Istana Merdeka dan
Istana Negara hanya dipakai sebagai tempat kerja, upacara, dan resepsi
kenegaraan.
Pak Harto berkantor di Bina Graha yang terletak di
sebelah timur Istana Negara, menghadap ke arah Sungai Ciliwung, kemudian
menjadi kantor resmi Pak Harto. Gedung ini berdiri di atas lahan bekas Hotel
Dharma Nirmala, bangunan yang pada masa sebelumnya bernama Hotel der
Nederlanden dan Raffles House.
Presiden Soeharto mempunyai dua ruang kerja di
Bina Graha, yaitu di lantai dasar dan lantai atas. Kedua ruang kerja ini
dihubungkan dengan tangga. Ruang kerja di lantai atas biasanya dipakai sebelum
menghadiri sidang-sidang kabinet terbatas. Ruang kerja di lantai bawah dipakai
untuk menerima tamu-tamu yang berhubungan dengan kegiatan pemerintahan. Untuk
menerima tamu negara dan pejabat lembaga tinggi negara, Presiden Soeharto
menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka.
Pada dasawarsa terakhir masa pemerintahannya, Pak
Harto bahkan makin sering menggunakan kediamannya di Jalan Cendana untuk menerima
para tamu. Pada periode itu Pak Harto juga mulai sering menggunakan ruang kerja
di Istana Merdeka pada hari Jum’at agar dekat dengan Masjid Baiturrahim. Beliau
juga menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka itu untuk pertemuan-pertemuan
yang bersifat khusus.
Tidak adanya kebutuhan untuk kehidupan rumah
tangga di Istana Merdeka juga mengubah berbagai fungsi ruangan. Atas
persetujuan Presiden Soeharto, bekas kamar tidur Bung Karno pada renovasi tahun
1997 diubah menjadi tempat untuk menyimpan Bendera Pusaka dan naskah asli
Proklamasi Kemerdekaan. Patung dada Bung Karno dan Bung Hatta juga ditempatkan
di ruang itu. Pada dinding utara ruang pusaka itu dipasang relief yang
menggambarkan Sajuti Melik mengetik teks proklamasi, serdangkan pada dinging
selatan menggambarkan Ibu Fatmawati menjahit Bendera Pusaka. Diantara semua
Presiden Republik Indonesia, Presiden Habibie yang paling sering membawa
tamunya mengunjungi Ruang Bendera Pusaka ini.
Bekas ruang tidur Ibu Fatmawati di sisi barat,
disamping belakang ruang kerja Presiden, diubah menjadi dua ruang tidur untuk
istirahat kepala negara, dilengkapi dengan kamar mandi yang telah direnovasi.
Pak Harto hanya menggunakan ruang ini untuk bermalam setiap tanggal 16 Agustus
setelah mengikuti upacara ranungan suci di Taman Makam Pahlawan Nasional
Kalibata, menjelang upacara peringata hari Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia.
Ruang Kredensial yaitu bangsal pertama yang
dicapai setelah memasuki pintu utama Istana Merdeka dari arah serambi depan,
tidak berubah fungsinya. Di
situlah para duta besar negara sahabat menyampaikan surat keprecayaan
(kredensial) kepada Kepala Negara Republik Indonesia. Di ruang ini pula Kepala
Negara setiap tahun menerima para duta besar yang menyampaikan ucapan selamat
ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dibelakang Ruang Kredensial terdapat sebuat
koridor yang memisahkan Ruang Jepara di sisi barat sedangkan di sisi timur
adalah salon yang dipakai sebagai ruang kerja, ruang tamu, dan ruang makan Ibu
Negara. Pada masa Presiden Megawari, ruang ini dirombak menjadi Ruang Raden
Saleh, khusus untuk menyimpan lima lukisan Raden Saleh.
Melalui koridor yang memisahkan Ruang Jepara dan
Ruang Raden Saleh, para tamu bisa melangkah ke bangsal berikutnya, yaitu Ruang
Resepsi yang merupakan ruang terluas di Istana Merdeka. Beberapa resepsi
kenegaraan khususnya pada 17 Agustus malam diselenggarakan di ruang ini.
Ruang Respsi ini berlanjut ke serambi belakang
yang sudah diperluas sejak renovasi tahun 1997. serambi ini semula merupakan
teras terbuka, kemudian ditutup pada masa Presiden Soeharto dengan dinding
pintu dan jendela kaca yang disesuaikan dengan gaya arsitektur bangunan.
Serambi belakang tertutup ini juga bersambung ke sebuah teras terbuka yang
menghadap ke pelataran Istana Jakarta. Di bagian atas dinding dalam serambi
tersebut dihi8asi dengan relief aksara Arab yang mengandung arti ”damailah
mereka yang berkunjung ke tempat ini” pada masa pemerintahan Presiden B.J.
Habibie.
Di halaman depan Istana Merdeka berdekatan dengan kolam
air mancur, berdiri sebuah tiang bendera dari beton setinggi 17 meter.
Sebelumnya, pada masa Hindia-Belanda, bendera dikibarkan di puncak Istana
Merdeka. Setiap tahun dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan, pada tiang
bendera ini dikibarkan duplikat Bendera Pusaka.
Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan di Istana
Merdeka mempunyai ciri khas masing-masing, baik pada masa Bung Karno maupun Pak
Harto. Pada masa Bung Karno, masyarakat datang berduyun-duyun pada puncak
peringatan untuk mendengar pidato Bung Karno serta melihat parade di Jalan
Medan Merdeka Utara dengan panggung kehormatan di depan Istana Merdeka. Pada
masa Pak Harto, parade militer diubah menjadi Pawai Pembangunan yang
diselenggarkan pada setiap tanggal 18 Agustus. Presiden kedua ini juga
melembagakan acara makan malam Peringatan Hari Kemerdekaan dengan mengundang
para perintis kemerdekaan, veteran dan warakawuri di Istana Merdeka.
Pada masa Pak Harto, upacara dipusatkan pada
detik-detik Proklamasi dengan pembacaan Naskah Proklamasi. Upacara pengibaran
dan penurunan bendera pada senja hari dikembangkan menjadi seremoni yang
anggun. Pada masa inilah mulai diperkenalkan konsep Pasukan Pengibar Bendera
Pusaka (Paskibraka) yang terdiri dari siswa-siswi SMU terpilih yang mewakili
provinsi Indonesia.
Pada bulan-bulan lainnya, sejak tahun 1984, setiap
senja tanggal 17 diselenggarakan acara tetap di halaman depan Istana Merdeka,
yaitu upacara penurunan bendera dan penggantian regu Kawal Jaga Istana. Upacara
yang disebut Parade Senja itu disemarakkan dengan atraksi marching band dari berbagai sekolah atau organisasi massa, serta
kolone senjata yang diiringi Korps Musik Pasukan Pengamanan Presiden.
Secara bertahap Istana Jakarta pun mengalami
perubahan wajah. Kegemaran Ibu Negara Tien Soeharto terhadap ukir-ukiran kayu
Jepara dengan segera mengubah penampilan Istana. Di luar bergaya Palladio,
didalam bergaya Jepara. Menurut Joop Ave, yang menjabat sebagai Kepala
Istana-Istana Presiden pada saat diawalinya renovasi interior, upaya itu juga
untuk mengindonesiakan sekaligus memasyarakatkan Istana. Ketika Sampoerno
menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan, pengindonesiaan ragam hias tersebut
dilanjutkan.
Ruang tamu Presiden di sisi Istana Merdeka
misalnya, kemudian diberi nama Ruang Jepara, karena menggunakan ragam hias
ukiran Jepara. Pada dinding-dindingnya digantung beberapa relief ukiran kayu
berukuran besar. Salah satunya menggambarkan epik Ramayana. Beberapa saka di
ruang itu juga dibungkus dengan kayu berukir. Dua pasang saka masif berlaras Ionia,
masing-masing di Ruang Kredensial dan di Ruang Jepara, juga dibungkus dengan
ukiran Jepara.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, lantai
marmer di berbagai ruang utama Istana Merdeka ditutup permadani berwarna merah
marun, sedangkan di Istana Negara dengan permadani warna hijau hutan. Permadani
itu memakai hiasan dengan ragam hias lung-lungan
di sepanjang tepi serta bagian tengahnya. Di Ruang Kredensial, hiasan tengah
permadaninnya memakai motif Cakra Manggilingan.
Pilihan warna merah untuk Istana Merdeka dan hijau
untuk Istana Negara juga diterapkan pada gorden atau tirai jendela dan pintu di
kedua bangunan itu. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, gorden di Istana
Merdeka diubah warnanya menjadi biru.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, jabatan
Kepala Rumah Tangga Istana diubah menjadi Sekretariat Presiden RI yang pada
masa presiden Megawati dijabat oleh Kemal Munawar. Presiden Megawati mengangkat
staf khusus Kris Danubrata yang ditugasi melakukan penataan ulang interior
Istana-Istana Presiden Republik Indonesia. Hal pertama yang dilakukannya adalah
melepaskan semua ukiran-ukiran Jepara dari interior Istana Merdeka dan Istana
Negara — kecuali Ruang Jepara yang sengaja dilestarikan sebagai bagian sejarah
kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan nuansa
asli klasik Eropa pada Istana Jakarta.
Secara bertahap dilakukan pula penggantian gorden
dan karpet di Istana Jakarta. Gorden yang semula tebal dan berwarna masif
digantikan dengan vitrase semi-transparan yang memberi kesan ringan dan
terbuka. Karpet yang semula wall-to-wall
diganti dengan lembaran-lembaran luas kapet Persia, Pakistan, dan Afganistan,
yang menimbulkan kesan ramah dan akrab.
Kursi dan sofa dari kayu ukiran Jepara dengan
bantalan berwarna kuning emas yang semula memenuhi Istana Jakarta juga diganti
dengan kursi dan sofa peninggalan kolonial Hindia-Belanda dulu. Sebagian besar
mebel itu dikeluarkan kembali dari gudang untuk direnovasi dan diganti bantalan
baru dengan warna dan corak yang menimbulkan kesan elegan dan hangat.
Di masa Presiden Megawati dilakukan penataan dan
penempatan kembali lukisan serta benda-benda seni lainnya dengan penataan
interior yang baru. Beberapa lukisan dikembalikan ke tempatnya semula seperti
ketika pada awalnya ditempatkan secara khusus oleh Bung Karno atas pertimbangan
estetis dan teknis yang khusus.
Presiden Megawati juga memilih untuk tidak tinggal
di Istana Merdeka. Sekalipun demikian Ibu Mega menggunakan Istana Negara
sebagai kantornya. Oleh karenanya, Istana Negara perlu mengalami sedikit
perubahan penataan interior.
Istana negara pada dasarnya terdiri dari dua
balairung besar: Ruang Upacara dan Ruang Jamuan. Sesuai dengan namanya, Ruang
Upacara adalah untuk tempat penyelenggaraan upacara-upacara resmi kenegaraan.
Di masa Hindia-Belanda, Ruang Upacara dipakai sebagai ballroom untuk
pesta-pesta yang disemarakkan dengan acara dansa.
Di Ruang Upacara tersedia dua perangkat gamelan:
Jawa dan Bali, masing-masing ditempatkan di timur dan barat dari podium yang
berada di sisi selatan Ruang Upacara. Jika upacara mengharuskan diperdengarkan
lagu kebangsaan dengan korps musik dari pasukan pengamanan presiden maka
ditempatkan di serambi belakang yang hanya dipisahkan oleh dinding belakang
podium Ruang Upacara. Auditorium ini dapat menampung seribu hadirin berdiri
atau 350 hadirin duduk.
Sedangkan Ruang Jamuan dipakai untuk jamuan kenegaraan
atau sebagai tempat para tamu beramah-tamah setelah upacara selesai. Ruangan
ini dapat menampung 150 orang. Sebuah luisan Basoeki Abdullah bertema Ratu Kidul merupakan elemen hias utama
di ruang ini.
Serambi depan yang terbuka, menghadap ke Jalan
Veteran dapat dicapai dengan anak-anak tangga di kedua sisinya. Melalui
pintu-pintu kaca, pengunjung akan tiba di ruang depan. Ruang depan ini
dipergunakan sebagai tempat untuk tukar-menukar cinderamata antara dua kepala
negara sebelum memasuki Ruang Jamuan. Di ruang ii terdapat tiga kandelabra
besar dan sepasang cermin antik yang tingginya hampir mencapai tiga meter.
Dari depan ini terdapat sebuah koridor untuk
mencapai Ruang Jamuan. Sejumlah lukisan bertema revolusi kemerdekaan karya S.
Sudjojono, Dullah, dan Rustamadji dipajang di kedua dinding di sepanjang
koridor itu.
Di kedua sisi koridor itu terdapat beberapa ruang
khusus. Di sisi barat terdapat suite
untuk Wakil Presiden dan ruang tunggu tamu Presiden. Ruang tamu Presiden ini
dulunya merupakan Ruang Pusaka untuk menyimpan berbagai benda pusaka. Di ruang
ini Presiden menemui tamu-tamunya.
Ruang kerja Presiden berada di sisi timur koridor
ini, diapit dengan ruang tunggu tamu dan ruang ajudan. Ruang kerja ini hanya
dilengkapi dengan sebuah meja kerja besar, sebuah kursi kerja untuk Presiden,
dua kursi hadap, dan sebuah lemari panjang untuk menyiman berbagai benda seni
dari keramik dan perak. Di belakang ruang kerja ini terdapat ruang istirahat
dan ruang makan bagi Presiden.
Pemerintahan Presiden Soeharto berakhir dalam
sebuah upacara mendadak di Ruang Kredensial Istana Merdeka pada tanggal 21 Mei
1998. dalam acara singkat yang disiarkan langsung melalui televisi, Wakil
Presdien Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie mengucapkan sumpah di hadapan
Ketua Mahkamah Agung untuk memulai tugasnya sebagai Presdien Republik Indonesia
yang ketiga.
Presiden Habibie tinggal di kediaman pribadi di
bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, dan berkantor di Istana Merdeka. Ia
menggunakan kantor di Bina Graha hanya pada saat-saat tertentu, misalnya bila
memimpin Sidang Kabinet Terbatas. Untuk itu, dilakukan berbagai penyesuaian
untuk membuat ruang kerja di Istana Merdeka itu memenuhi syarat guna menunjang kerja
seorang Presiden yang akrab dengan teknologi baru.
Sebuah setelah sofa dari kulit bergaya Chesterfield ditempatkan di ruang kerja.
Di atas meja kerja ditempatkan dua komputer. Pada batang lampu-duduk di atas
meja kerja. Presiden Habibie menggantungkan sebuah boneka beruang kecil yang
didapatnya dari seorang teman sebagai kenang-kenangan.
Irama kerja Presiden Habibie berbeda dengan irama
kerja kedua pendahulunya. Sebagai orang yang bekerja tanpa henti hingga larut
malam, Pak Habibie baru memulai acaranya di Istana Merdeka pada pukul sepuluh
pagi. Kadang-kadang ia tidak keluar dari Istana hingga menjelang tengah malam.
Pada hari Sabtu, ia mengkhususkan waktunya di Istana Merdeka untuk menerima
wartawan yang hendak mewawancarainya.
Untuk menerima tamu-tamu diantara dua kegiatan di
Istana Negara dan Istana Merdeka, Presiden Habbie kadang-kadang menggunakan
salah satu ruang di Puri Bhakti Renatama. Ini juga demi alasan praktis karena
gedung itu terletak dalam perjalanan antara kedua Istana. Untuk jumpa pers, ia
sering mengundang para wartawan ke Wisma Negara. Presiden Habibie juga sering
memanfaatkan ruang makan yang berbeda untuk acara santap siangnya. Ia sering
membawa sendiri makan siangnya dari rumah.
Presiden Habibie hanya sempat memerintah selama 13
bulan, dan menyerahkan kepemimpinan bangsa Indonesia kepada Presiden
Abdurrahman Wahid, yang biasa dipanggil Gus Dur. Pada masa kepemimpinannya, Gus
Dur memindahkan keluarganya ke Istana Merdeka. Ia menggunakan ruang tidur yang
semula dipergunakan Bung Karno di Istana Merdeka.
Gaya hidup Gus Dur yang sangat terbuka memberi
warna baru degup kehidupan Istana Jakarta. Seringkali Istana ”hidup” selama 24
jam karena berbagai jamuan dan pertemuan keluarga yang menghadirkan tamu
berjumlah besar.
Gus Dur juga bekerja di ruang kerja Bung Karno.
Sebaliknya, Presiden Megawati justru tidak menggunakan ruang kerja di Istana
Merdeka sebagai kantornya, melainkan salah satu ruangan di Istana Negara.
Pada masa Presiden Megawati dipersiapkan rencana
memindahkan Kantor Presiden ke Puri Bhakti Renatama yang terletak di pelataran
dalam antara Istaa Merdeka dan Istana Negara. Bangunan tambahan itu dibangun
semasa Presiden Soeharto sebagai museum untuk menyiman lukisan dan benda-benda
seni serta benda-benda hadiah.
Tetapi karena koleksi lukisan, benda seni, dan
benda hadiah terus bertambah, museum itu tidak mampu lagi menampung semuanya.
Gedung Bina Graha yang semula menjadi Kantor Presiden diubah fungsinya menjadi
museum untuk menyimpan semua koleksi benda seni yang tidak dipajang di Istana.
Sedangkan bekas bangunan museum itu direnovasi menjadi kantor Presiden yang
baru, lengkap dengan ruang untuk
konferensi pers dan ruang Rapat Kabinet.
Baik pada masa penjajahan maupun masa kemerdekaan,
Istana Negara dan Istana Merdeka sarat dengan berbagai puncak peristiwa
sejarah. Di Istana Rijswijk pada tahun 1829 Gubernur Jenderal G.A.G. baron Van
Der Capellen mendengarkan rancana Jenderal Hendrik Merkus baron De Kock untuk
menumpas pemberontakan Diponegoro. Sebagai Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda
De Kock berhasil memerpdaya Diponegoro pada awal 1830 di masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Johannes Graaf Van Den Bosch.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Negara
menjadi saksi sejarah atas penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati pada
hari Selasa, 25 Maret 1947. Persetujuan ini antara lain menetapkan bahwa
Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda akan bersama-sama
menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdasarkan prinsip federasi. Setahun
kemudian, pada tanggal 13 Maret 1948, Istana Negara kembali menjadi tuan rumah
untuk pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Letnan
Gubernur Jenderal Dr. Hubertus J. Van Mook.
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, beberapa
puncak peristiwa sejarah yang terjadi di Istana Merdeka dan Istana Negara
antara lain adalah: pembubaran Republik Indonesia Serikat dan kembali ke bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950. Dekrit
Presiden Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 di depan Istana Merdeka pada 5
Juli 1959, pidato Dekrit Ekonomi di Istana Negara pada tanggal 28 Maret 1963
sebagai akibat ditolaknya permintaan utang kepada IMF (Dana Moneter
Internasional). Di masa Presiden Sukarno halaman Istana Merdeka juga beberapa
kali dipakai untuk pawai raksasa.
Isu tentang ”pengepungan” Istana Jakarta oleh
sekelompok tentara pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto tampaknya
mengulangi insiden serupa yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Presiden
Sukarno. Ketika itu, Presiden Sukarno segera meninggalkan Istana Jakarta dengan
helikopter menuju Istana Bogor.
Ruang Kredensial Istana Merdeka menjadi perhatian
dunia ketika pada tanggal 21 Mei 1998 dilangsungkan upacara singkat pengambilan
sumpah Presiden Habibie yang disiarkan secara langsung ke seluruh penjuru
dunia. Sekelompok mahasiswa sempat mendekati halaman depan Istana Merdeka untuk
melakukan unjuk rasa.
Hampir semua kepala negara dan kepala pemerintahan
dari seluruh dunia telah mendaki anak-anak tangga Istana Merdeka di Jakarta.
Nama-nama mereka tercatat dalam daftar panjang para tamu negara di Istana
Jakarta. Beberapa nama besar dalam sejarah dunia yang pernah berkunjung ke
Istana Jakarta antara lain adalah: Shri Pandit Jawaharlal Nehru, Perdana
Menteri Indira Gandhi, Ratu Elizabeth, Raja Norodom Sihanouk, Jaksa Agung
Robert Kennedy, Presiden Nelson Mandela, Kanselir Helmut Kohl, Presiden Bill
Clinton, dan Putri Diana.
Sampai kini, tercatat 23 kepala pemerintahan yang
pernah memakai kompleks Istana Jakarta ini, yaitu: 15 Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda, tiga Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara ke-16 Jepang di
Jawa), dan lima orang Presiden Indonesia. Dari 15 Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda, hanya empat orang yang benar0benar tinggal di Istana
Waltevreden; yang lain menetap di Istana Buitenzorg dan hanya datang ke Batavia
untuk menghadiri pertemuan Raad van Indie. Hanya dua orang Presiden Republik
Indonesia yang pernah tinggal di kompleks Istana Jakarta yaitu Presiden Sukarno
dan Presiden Abdurrahman Wahid.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar