|
|
Ketika Istana Buitenzorg pertama kali didirikan pada pertengahan
abad ke 18, wilayah yang kelak bemama Bogor
masih berupa sebuah kampung. Bantaran sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung yang
sejuk dan tenang itu semula hanya dihuni oleh beberapa warga yang menggarap
lahan subur di sekitamya. Pada masa itu, daerah yang dikelilingi oleh
Gunung-gunung Salak, Pangrango, Pancar dan Kapur ini telah menjadi bagian (ommelanden) dari “district Jacarta”
tidak lagi tersisa dari kejayaan masa lalulnya sebagai pusat Kerajaan Sunda.
Ketika Gubemur Jenderal Hindia-Belanda Gustaaf Willem baron Van
Imhoff menemukan tempai itu dalam suatu perjalanan inspeksi ke daerah Cianjur,
ia mencatatnya sebagai Kampung Baru yang terletak 39 paal dari Batavia, 290 meter di atas permukaan laut.
Sang Gubernur Jenderal langsung jatuh cinta pada tempat yang sejuk
dan jauh dari ingar-bingar itu. Batavia, yang
telah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, adalah kota yang terlalu panas bagi orang Belanda
yang biasa tinggal di negeri dingin. Ia kemudian berhasrat membangun sebuah
rumah peristirahatan di tempat yang sejuk dan subur itu. Ia pula yang
memutuskan untuk meniru gaya bangunan Istana Blienheim, puri kediaman Duke of
Malborough yang terletak di dekat Oxford,
Inggirs. Ia membuat sketsa bangunannya sendiri, dan pada thaun 1745 mulai
memimpin pembangunan puri di Kampung baru itu. Ketenangan tempat itu membuat
Van Imhoff memberi nama baru bagi daerah itu: Buitenzorg, sebuah kata Belanda
yang berarti tanpa peduli – without worry
atau carefree dalam bahasa
Inggris, sans souci dalam bahasa
Perancis. Buitenzorg adalah nama yang tepat bagi tempat tetirah untuk melupakan
pelik-pelik di Batavia.
Namun sejumlah sejarawan meragukan bahwa Van Imhoff mengambil
inspirasi dari Istana Blenheim. Sebab ia adalah seorang bangsawan Jerman dari
daerah Heidelberg.
Disamping itu, penamaan Buitenzorg yang searti dengan sans souci menimbulkan kemungkin bahwa desain pertama Puri
Buitenzorg itu sebetulnya malah meniru atau diilhami oleh Istana Raja Frederik
di dekat Berlin bemama Sans Souci.
Ketika Van Imhoff meninggal pada tahun 1750, pembangunan Puri
Buitenzorg masih jauh dari usai. Bersamaan dengan waktu itu mulai pula berkobar
Perang Banten. Rakyat yang bermukim di bantaran Sungai Cisadane kecewa karena
Ratu Syarifah yang menjadi penguasa Kesultanan Banten telah menyerahkan kawasan
subur kepada VOC. Terjadilah pemberontakan rakyat yang dimpimpin Kiai Tapa dan
Ratu Bagus Buang. Puri yang belum selesai dibangun di Buitenzorg itu dibakar
dalam salah satu serangan.
Jacob Mossel, Gubemur Jenderal yang menggantikan Van Imhoff,
kemudian melanjutkan pembangunan Puri Buitenzorg yang mengalami kerusakan
berat. Ia meneruskan desain yang ditinggalkan oleh van Imhoff.
Puri Buitenzorg menjadi tujuan favorit para Gubemur Jenderal serta
petinggi VOC dan kemudian tempat kediaman resmi bagi Gubemur Jenderal. Demikianlah,
rencana membangun rumah Gubemur Jenderal dekat tangsi tentara di Waterlooplein
(sekarang Lapangan Banteng, Jakarta)
urung dilaksanakan. Untuk jangka waktu yang panjang, para Gubemur Jenderal dan
keluarganya tinggal di sebuah rumah besar di dalam Kasteel Batavia, tidak
seberapa jauh dari Stadhui (sekarang Museum Sejarah Jakarta). Setiap Gubemur
Jenderal menambah dan menyempurnakan Puri Buitenzorg sesuai dengan bertambahnya
kebutuhan dan kemakmuran VOC.
Pada tahun 1802, di salah satu sudut halaman puri yang seluas 28 hektar
itu didirikan sebuah gereja Protestan. Hingga sekarang gereja itu masih
berfungsi, tetapi dipisahkan dari lahan Istana Bogor dengan pagar, agar bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat umum secara penuh. Bangunan asli gereja itu juga
sudah diganti dengan yang baru pada awal abad ke-20. gereja itu sekarang
dikenal dengan nama Zebaoth.
Bersamaan dengan bangunan gereja, dibangun pula dapur pembuatan roti
dan kue, sebuah ruang untuk bermain, dan tempat minum kopi di halaman. Sebuah
rumah sakit juga didirikan di belakang kompleks Puri Buitenzorg. Rumah sakit
itu sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia, terletak di Jalan
Pajajaran. Pada masa lalu, lahan rumah sakit itu masih menjadi bagian dari halaman
luas Puri Buitenzorg.
Gubemur Jederal Herman Willem Dandels, yang menciptakan proyek jalan
raya pos Anyer-Panarukan, rupanya ia juga seorang maniak dalam soal konstruksi.
Ia mengubah sayap kanan dan kiri Puri Buitenzorg itu menjadi bangunan dua
tingkat. Akan tetapi selama pembangunan itu Daendels secara serampangan memakai
bangunan utama sebagai gudang penyimpanan bahan-bahan banguan yang sebagian
besar didatangkan dari Negeri Belanda.
Ketika Inggris berkuasa atas wilayah Jawa dan tanah seberang pada
tahun 1811-1816, Letnan (wakil) Gubemur Sir Thomas Stamford Raffles menggunakan
Puri Buitenzorg sebagai kediaman resminya. Bila berada di
Batvia, ia berkantor di sebuah
gedung bekas rumah saudagar di Rijswijk (sekarang
Jalan Veteran, Jakarta)
– gedung itu oleh banyak orang kemudian disebut sebagai Raffles House yang
berlokasi di tempat yang kini menjadi gedung Bina Graha.
Raffles melakukan pemugaran besar-besaran pada bangunan tengah serta
mengubah kebun di sekeliling istana menjadi kebun bergaya Inggris. Ia bahkan
memulai pembangunan kebun raya di atas lahan yang mengelilingi Puri Buitenzorg.
Pembangunan Hortus Bogoriensis itu dipimpin oleh seorang guru besar C.C.C.
Reinwardt untuk menghimpun dan melestarikan kekayaan ragam tumbuh-tumbuhan yang
terdapat di bumi Nusantara. Pada tahun 1844, untuk melengkapi kebun raya,
dibangun pula Herbarium Bogoriensis untyk menyimpan berbagai data tentang flora
Nusantara.
Hortus Bogoriensis dan Herbarium Bogoriensis juga membuat Bogor sebagai referensi
baru bagi para ilmuwan botani. Sejumlah ahli dari Eropa datang ke Kebun Raya
Bogor untuk memperdalam pengetahuan. Seorang diantaranya, Emest Haeckel,
menulis tajuk Maleische Reisebriefe
(Kisah Perjalanan ke Tanah Melayu), bahwa sejak pagi pertama keberadaannya di
Buitenzorg, ia merasa seolah-olah berada di Taman Firdaus. Semua bayangan
tentang keindahan Taman Firdaus mewujud di Hortus Bogoriensis, tulis Haeckel.
Pada masa pemerintahan Inggris itu pula oleh Raffles didatangkan
enam pasang rusa dari daerah perbatasan Nepal dan India, yang kemudian
dibiarkan merumput di halaman puri yang luas dan rindang, dan terus bgeranak
pinak dengan subur.
Setelah Belanda kembali berkuasa atas tanah Jawa, Gubemur G.A.G. Ph.
Baron Van Der Capellen (1819 – 1926) meneruskan pemugaran yang dilakukan
Raffles atas gedung induk Puri Buitenzorg. Di atas gedung itu, ia membangun
sebuah menara untuk menambah kemegahan Puri.
Pada 10 Oktober 1834, gempa bumi hebat merusakkan puri yang telah
menjadi bangunan tambal sulam campur aduk berbagai corak arsitektur itu.
Pada 1850, Gubemur Jenderal Albertus Jacob Duymaer Van Twist
memutuskan untuk merubuhkan semua bangunan, dan membangun kembali sebuah istana
dengan konsep arsitektur yang sama sekali baru. Malapetaka gempa bumi itu juga
mengingatkan para perencana untuk tidak membangun puri yang rentan terhadap
gempa. Diputuskanlah mendirikan puri berlantai satu mengikuti gaya Paladio yang populer di Eropa pada abad
ke–19. Hanya denah puri saja yang masih dipertahankan, yaitu konsep bangunan
induk di tengah, dan masing-masing sebuah bangunan di sayap kanan dan kiri.
Untuk menghubungkan gedung induk dengan gedung sayap, dibangunlah jembatan
lengkung dari kayu.
Pembangunan kembali Puri Buitenzorg baru selesai pada masa
pemerintahan Gubemur Jenderal Charles Ferdinand Pahud (1856 – 1861). Pada 1870,
Puri Buitenzorg ditetapkan sebagai istana kediaman resmi, bukan lagi rumah
tetirah bagi para Gubemur Jenderal Hindia-Belanda. Kenyataannya, Istana
Buitenzorg memang telah menjadi bangunan yang lebih anggun dan berwibawa dibanding
bekas rumah saudagar di Rijswijk yang diambil-alih pada tahun 1816 untuk
menjadi kediaman Gubemur Jenderal di Batavia. Dengan keputusan itu, pemerintah
penjajah Hindia-Belanda membatalkan rencana membangun istana bagi Gubemur
Jenderal di Waterlooplein. Bangunan yang sudah dimulai sejak masa Daendels itu
kemudian diperuntukkan sebagai gedung kantor Pemerintahan.
Silih berganti para Gubemur Jenderal Hindia-Belanda bermukim di
Istana Buitenzorg yang megah, mewah, dan nyaman. Contohnya adalah Gubemur
Jenderal Dirk Fock (1921 – 1926) yang menaikkan berbagai macam pajak yang
sangat menyusahkan rakyat terjajah. Kemudian Gubemur Jenderal B.C. De Jonge
(1931 – 1936) yang bertangan besi. Ia menangkap para pemimpin perjuangan
kemerdekaan Indonesia
– antara lain Soekarno, Hatta, dan Sjahrir – dan membuangnya ke pengasingan.
Bangunan baru Istana Buitenzorg itu juga memiliki menara di atas
gedung induknya. Tepat di bawah menara itu terdapatlah tempat untuk para musisi
memainkan musik bila diselenggarakan pesta-pesta dansa. Ruang utama dibawah
menara itu – sekarang disebut Ruang Garuda – dulu adalah danszaal (ruang dansa) tempat para bangsawan, pejabat pemerintah
dan militer, serta saudagar Belanda melakukan pesta-pesta meriah. Pada
saat-saat pesta, lampu-lampu gas yang biasanya dipakai sebagai penerangan
istana diganti dengan lilin-lilin yang romantis.
Titik dibawah menara itu juga ditetapkan sebagai poros untuk
memperhitungkan rencana pemasangan pipa air minum bagi semua warga kota Bogor.
Bila pintu-pintunya dibuka, danszaal itu
tepat menghadap ke utara, yakni ke jalan utama menuju Batavia melalui Cibinong.
Pada masa pendudukan Jepang, dengan pilu Gubemur Jendera Tjarda Van
Starkenborgh-Stachower terpaksa menyerahkan Istana Buitenzorg kepada bala tentara
Jepang di Kalijati. Istana Bogor kemudian menjadi markas Tentara Pendudukan
Jepang yang dipimpin oleh Jenderal Imamura.
Apa yang terjadi kemudian di Istana Bogor adalah lembaran paling
kelam dalam sejarahnya. Jepang memakai bagian bawah tanah sebagai sel-sel
tahanan untuk memenjarakan orang Belanda yang ditangkapnya. Seluruh dinding
luar Istana Bogor dicat dengan wama hitam agar tersamar dari serangan udara.
Kolam-kolam indah yang dibangun pada masa Raffles dikeringkan airnya agar tidak
memantulkan cahaya yang bias tampak dari udara, dan kemudian ditanami
semak-semak.
Rumput di halaman Istana Bogor yang luas dibiarkan liar meninggi.
Rusa-rusa yang jumlahnya sudah mencapai ratusan, mulai punah karena setiap hari disembelih dan
dimakan oleh serdadu Jepang. Untungnya, rumput yang sudah tumbuh tinggi justru
merupakan tempat persembunyian yang baik bagi beberapa ekor rusa. Karena
terlindung dibalik rumput itulah populasi rusa Istana Bogor tidak sepenuhnya
binasa selama pendudukan Jepang antara 1942 – 1945.
Tentara Pendudukan Jepang juga mengangkut pelbagai benda seni dari
Istana Buitenzorg ke Negeri Matahari Terbit. Berbagai keris dan tombak pusaka
yang penuh sejarah – upeti para raja dan sultan kepada para Gubemur Jenderal
Hindia-Belanda lenyap dari bumi persada Nusantara. Serdadu Jepang juga
mencabuti semua benda yang terbuat dari logam untuk dilebur menjadi alat-alat
persenjataan. Tiang-tiang lampu yang indah dari Eropa, besi cor yang dipakai
sebagai pagar dan elemen artistic bangunan Istana, semuanya dibongkar.
Dalam kondisi compang-camping seperti itulah Istana Bogor pada tahun
1945 direbut oleh sekitar 200 pemuda Indonesia yang tergabung dalam Barisan
Keamanan Rakyat, setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu pada akhir
Perang Dunia Kedua. Namun, para pemuda itupun kemudian dipaksa meninggalkan
Istana Bogor karena kompleks ini direbut kembali
oleh Tentara Pendudukan Sekutu yang justru merintis jalan bagi kembalinya
administrasi Hindia-Belanda yang sebelumnya mengungsi ke Australia.
Baru pada akhir tahun 1949, ketika Belanda mengakui kedaulatan
Republik Indonesia, Istana
Bogor diserahkan secara resmi oleh Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Hanya lima buah cermin besar yang masih
tergantung di dinding menjadi barang inventaris Istana Bogor yang diserahkan
kepada bangsa Indonesia
ketika itu.
Namun demikian, Istana Bogor tidak segera memperoleh perhatian
Pemerintah Republik Indonesia.
Usia muda kemerdekaan yang baru diproklamasikan itu membuat para pemimpin
Negara lebih terpusat perhatiannya pada urusan penyelenggaraan Negara.
Presiden Soekarno baru mulai melakukan pemugaran secara bertahap
sejak tahun 1952. yang pertama dipugar adalah bagian depan bangunan induk.
Ditambahkan sebuah beranda (portico)
yang ditopang oleh enam tiang berlaras lonia. Beranda ini menyambung dengan
serambi depan dengan sepuluh saka bergaya sama. Tidak sekadar menambah
keanggunan Istana, beranda baru ini juga berfungsi untuk melindungi tamu agung
dari hujan yang sering tercurah di Bogor.
Beberapa mobil dapat sekaligus berhenti dibawah beranda ini untuk menurunkan
penumpang. Dalam memugar Istana Bogor, Bung Karno tetap mempertahankan gaya arsitektur Palladio,
Jembatan kayu yang menghubungkan bangunan induk dengan kedua sayapnya kemudian
diganti menjadi koridor.
Pemugaran Istana Bogor dipercepat menjelang sebuah pertemuan politik
pemimpin lima Negara sebagai tindak lanjut dari
pertemuan di Colombo
pada tahun 1954 yang belum mencapai kata sepakat. Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo mengundang para Perdana Menteri India,
Burma, Sri Lanka, dan Pakistan
untuk melanjutkan pembicaraan di Indonesia.
Pada tahun 1954 itu pula, di halaman Istana Bogor yang luas juga
dibangun dan dipugar lima buah pavilion – Amarta, Madukara, Pringgodani, Dwarawatim
dan Jodipoti yang lebih dikenal dengan Paviliun 1, 2, 3, 4, dan 5 – yang
terpisah agak jauh dari bangunan-bangunan utama Istana. Salah satunya, sebuah
pavilion kecil yang kini dikenal sebagai Paviliun Amarta (atau paviliun 2),
adalah tempat kesukaan Bung Karno. Ia sering menginap di Paviliun Amarta ini
bila sedang berada di Istana Bogor.
Bung Karno juga menanam tiga pohon beringin di halaman Istana Bogor
untuk menandai kelahiran tiga putranya: Guruh, Taufan, dan Bayu.
Di Bogor, tepatnya di Batutulis, Bung Karno juga membeli sebidang
tanah yang dipakainya untuk membangun rumah pribadi. Ia juga menugasi arsitek
R.M. Soedarsono untuk mendesain rumah itu. Gaya arsitektur rumah pribadi Bung Karno itu
mirip dengan Wisma Dyah Bayurini dan Istana Tampaksiring. Dari jendela lebar di
ruang tamu, Gunung Salak yang menjulang di kejauhan dan Sunga Cisadane yang
mengalir nun di bawah sana
tampak bagaikan lukisan yang amat indah.
Pada
tahun 1997, sebuah masjid umum dibangun untuk mengganti masjid sederhana yang
telah lebih dulu ditambahkan di dekat dapur umum. Masjid itu sengaja diletakkan
di bagian samping depan Istana, agar mudah dijangkau oleh masyarakat umum.
Berdasarkan luas bangunan dan tanahnya, Istana Bogor merupakan
istana terbesar dan
terluas dari lima
Istana Kepresidenan yang lain.
Sementara itu, rusa-rusa yang menghuni halaman Istana Bogor terus
beranak-pinak hingga mencapai 700-an ekor, padahal daya dukung halaman Istana
Bogor sebetulnya hanya ideal untuk 300 ekor rusa. Untuk mengurangi jumlahnya,
beberapa ekor rusa telah dipindahkan ke Istana Tampaksiring di Bali, kompleks
Badan Intelijen Negara di Jakarta, dan beberapa kantor Gubemur di tanah air.
Semua langkah tertata untuk konservasi rusa ini dilaksanakan pada masa Presiden
Megawati.
Hamparan rumput Istana juga dihiasi dengan beberapa
tempayan-tempayan besar tanah liat, yang dibuat pada masa Bung Karno. Dari masa
penjajahan Belanda masih tertinggal beberapa tempayan asli dari Cina. Menurut
cerita, Bung Karno pernah mengutus seorang staf Istana untuk membeli tempayan
yang biasa dipakai sebagai penyimpan kedelai di pabrik tabu kepunyaan
orang-orang Tionghoa. Akan tetapi, temyata tidak seorang pun bersedia
menjualnya karena benda itu selain langka memang sangat diperlukan dalam
pembuatan tahu. Staf Istana itu kemudian diam-diam mencoba membuat tempayan
semacam itu di Plered, sebuah tempat di Jawa Barat yang memang terkenal
kerajinan tanah liatnya. Percobaan itu temyata berhasil, sehingga Bung Karno
memesan banyak lagi tempayan besar dari Plered yang hingga kini menghiasi
halaman Istana Bogor.
Dulu Bung Karno juga sempat mendatangkan beberapa pasang angsa dari
Swiss untuk dipelihara di kolam-kolam Istana. Tetapi, angsa-angsa itu tidak
sanggup bertahan hidup lama di cuaca tropis.
Menjelang 1960, Istana Bogor menjalankan fungsi yang sama dengan
Istana Merdeka dan Istana Negara di Jakarta: sebagai tempat kediaman sekaligus
tempat kerja Presiden Republik Indonesia.
Bung Karno membagi waktunya antara Jakarta dan Bogor secara tetap,
setelah menikahi Ibu Hartini di Istana Cipanas pada 1953. Setiap hari Jumat,
Sabtu, dan Minggu ia akan berada di Istana Bogor; pada hari-hari lain, di
Istana Merdeka Jakarta.
Dengan pengaturan ini Ibu Hartini pun kemudian dimukimkan di Paviliun Amarta
(Paviliun 2) Istana Bogor.
Bangunan induk tetap dipergunakan untuk Ibu Fatmawati dan putra-putrinya. Di
bangunan induk ini, Bung Karno dan Ibu Fatmawati menempati ruang depan dengan
jendela menghadap ke halaman depan Istana Bogor.
Bilamana Bung Karno datang dengan helikopter ke Istana Bogor, Muhammad,
Kepala
Rumah Tangga Istana Bogor setelah Burcher, selalu memastikan ada
lontong, sate ayam, dan nasi goreng pete kesukaan Bung Karno. Sebab, pada suatu
ketika, Bung Karno sempat "hilang" dari Istana dan baru ditemukan
beberapa saat kemudian setelah sebuah oplet menyelonong melewati gapura Istana.
Penumpangnya temyata adalah Bung Karno. Ia baru saja keluar Istana berjalan
kaki mencari lontong dan sate di Pasar Bogor,
tepat di samping Istana, dan pulang naik oplet.
Soekarno juga melakukan pertemuan dengan para tamu negara dan
menteri-menteri di Istana Bogor.
Sidang kabinet pun tak jarang diselenggarakan di sana.
Di Istana Bogor pula Bung Karno mencanangkan pembentukan Komando
Mandala Pembebasan Irian pada 31 Desember 1961.
Seiring dengan makin berperannya Indonesia dalam percaturan dunia,
Istana Bogor mewadahi pertemuan lima Perdana Menteri pada 1954: Ali
Sastroamidjojo (tuan rumah), Pandit Jawaharlal Nehru (India), Mohammad Ali
(Pakistan), Sir John Kotelawala (Sri Lanka), U Nu (Burma). Pertemuan itu berhasil
mencapai kesepakatan untuk menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung
pada tahun berikutnya -sebuah langkah awal strategis untuk mengokohkan kerja sama
negara-negara Asia dan Afrika, yang juga merupakan cikal bakal Gerakan Non-Blok
yang pada 1992 -1995 diketuai oleh Presiden Soeharto.
Hingga sekarang, ruang tempat pertemuan para perdana menteri lima negara itu masih
disebut sebagai Ruang Pancanegara. Bendera-bendera kebangsaan lima negara masih menghiasi ruangan itu.
Tatanan meja-kursi itu pun masih dipertahankan.
Ruang Pancanegara itu terletak di gedung sayap kiri. Gedung yang
memiliki enam kamar tidur yang bagi para tamu negara setingkat menteri ini
dilengkapi juga dengan sebuah ruang makan dan ruang duduk. Pada masa Belanda,
sayap kiri ini dipergunakan bagi hunian staf Gubemur Jenderal.
Gedung sayap kanan diperuntukkan tamu-tamu negara setingkat kepala
negara atau kepala pemerintahan. Pada masa Belanda bagian ini juga menjalankan
fungsi yang sama. Bagian ini hanya terdiri atas empat kamar tidur. Satu-satunya
anggota keluarga Kerajaan Belanda yang pemah menginap di sini adalah Pangeran
Willem Frederik Hendrik pada 1837. Beberapa raja dan presiden telah menjadi
tamu Republik Indonesia di Istana Bogor.
Di bagian
depan, di belakang serambi terbuka gedung induk Istana Bogor, terdapat sebuah
bangsal yang kini dikenal dengan sebutan Ruang Teratai. Penamaan demikian
bermula dengan adanya sebuah lukisan bunga teratai karya c.L. Dake, Jr. yang
menjadi elemen artistik paling menonjol di ruang duduk itu. Ini adalah lukisan
yang dibuat pada 1952 berdasarkan teratai besar (Victoria
regia) dari Amazon, Brazil, yang menghiasi kolam di
depan Istana Bogor.
Di antara
Ruang Teratai dengan balairung utama di belakangnya, terdapat sebuah koridor kecil
yang disangga empat saka berlaras Korintia. Pada dinding-dinding sisinya,
tergantung cermin besar berbingkai emas yang diletakkan berhadapan, sehingga
menciptakan refleksi seolah-olah ada seribu bayangan terpantul hingga nun ke
ujung sana.
Cermin ini dikenal dengan sebutan Kaca Seribu. Cermin dan saka-saka Korintia
ini merupakan sedikit saja dari elemen artistik yang masih asli sejak
dibangunnya Istana ini pada tahun 1850.
Balairung
utama Istana Bogor
sempat pula digunakan beberapa kali oleh Presiden Soekarno untuk pesta-pesta tari lenso.
Ruang ini kemudian diberi nama Ruang Garuda karena penempatan lambang negara
Garuda Pancasila pada dinding kepala.
Balairung yang kini ditebari dengan permadani Persia adalah bagian yang paling anggun di
Istana Bogor.
Enam belas saka berlaras Korintia menopang langit-Iangit berbentuk kubah yang
dihias relief bergaya Yunani. Beberapa kandelabra kristal digantung di
langit-langit. Di Ruang Garuda ini diselenggarakan acara-acara yang bersifat
formal: jamuan santap resmi, pertemuan pertunjukan kesenian, serta peristiwa
penting lainnya.
Pada masa Bung Karno, beberapa kali diselenggarakan sidang kabinet
di ruang ini. Presiden Soekarno juga beberapa kali menerima surat kepercayaan para duta besar di
balairung ini. Pada masa Presiden Soeharto, di balairung ini diselenggarakan
pertemuan para kepala negara APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada
1995.
Ruang
tidur utama di gedung induk hingga kini masih dijuluki sebagai Kamar Raja. Di
kamar itu terdapat sebuah tempat tidur yang panjangnya hampir tiga meter - khusus
dibuat untuk Raja Ibnu Saud dari Saudi Arabia
yang pernah berencana mengunjungi Indonesia. Sayangnya, ia
membatalkan muhibahnya karena kondisi kesehatannya. Ruang ini dulu merupakan
tempat tidur bagi putra-putri Presiden Soekarno.
Pada arah
yang berlawanan, sebelum koridor menuju sayap kiri, adalah sebuah ruangan yang
dulu dipakai Bung Karno sebagai tempat untuk memutar film. Setiap menjelang
akhir pekan, petugas Istana Bogor berangkat ke Jakarta untuk mengambil film-film yang akan
dipertunjukkan. Di samping keluarga dan staf Istana, Bung Karno juga sering
mengundang pejabat setempat untuk ikut melihat pemutaran film.
Ruang
kerja Presiden yang terletak di bagian kiri belakang gedung induk adalah ruang
yang besar - bahkan lebih besar dari ruang kerja Presiden di Istana Merdeka
dengan jendela-jendela dan pintu besar yang menghadap ke Kebun Raya.
Sejak
ditinggalkan oleh Bung Karno, ruang ini tak pernah dipakai sebagai ruang kerja
oleh para presiden berikutnya. Karenanya, ruang ini masih dibiarkan sebagaimana
tatanan aslinya ketika masih dipergunakan Bung Karno. Sebuah tenunan songket
dari benang emas ditaruh di atas meja kerja besar yang terbuat dari kayu jati.
Meja kerja ini menghadap sebuah dinding yang semula mempunyai dua jendela.
Dinding besar itu kemudian dimanfaatkan Bung Karno untuk menggantung lukisan
besar karya pelukis Rusia, Konstantin Egorovich Makowsky, yang dihadiahkan
kepada Bung Karno ketika berkunjung ke Uni Soviet pada 1956. Sebuah lukisan
besar Makowsky lainnya tergantung di ruang makan Istana Bogor. Lukisan itu - dibuat
pada 1891 dan menggambarkan Pesta Dewa Anggur - dibeli Bung Karno dari sebuah
galeri di Roma pada 1961.
Di Paviliun Amarta (Paviliun 2), pada 11 Maret 1966, tiga orang
petinggi militer Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf,
dan Brigadir Jenderal Amir Machmud - menghadap Presiden Soekarno untuk
membicarakan situasi keamanan dan politik Republik Indonesia. Dalam pertemuan
itu, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil Perdana Menteri I (Waperdam), Dr.
Soebandrio, Waperdam II, Dr. J. Leimena, dan Waperdam III, Dr. Chairul Saleh.
Pertemuan inilah yang menghasilkan Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang
lebih dikenal sebagai Supersemar
Lepas dari polemik sejarah tentang Supersemar, dokumen yang
ditandatangani di Istana Bogor itu menandai awal Pemerintahan Orde Baru selama
32 tahun.
Istana di Kota Hujan ini tidak saja mewadahi momen-momen penting
sejarah bangsa, melainkan juga perdamaian dan kerja sarna internasional maupun regional.
Pada 25-30 Juli 1988, misalnya, di sini diselenggarakan The Jakarta Informal
Meeting. Pertemuan ini khusus untuk membahas konflik di Kamboja yang dihadiri
oleh perwakilan negara-negara ASEAN, Laos, dan Vietnam, juga empat faksi yang
bertikai di Kamboja, yaitu Wakil Presiden Republik Demokrasi Kampuchea Khieu
Samphan, Presiden Front Pembebasan Rakyat Khmer Son Sann, Pangeran Norodom
Ranariddh sebagai Wakil Pribadi Raja Norodom Sihanouk, dan Perdana Menteri
merangkap Menteri Luar Negeri Kampuchea Hun Sen.
Istana Bogor menjadi tempat kelahiran Deklarasi Bogor ketika 18
kepala negara di kawasan Pasifik, di antaranya Presiden Amerika Serikat Bill
Clinton, berkumpul dalam konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation)
pada 1995. Deklarasi Bogor adalah kesepakatan yang menentukan jadwal
pelaksanaan pasar bebas untuk kawasan Asia-Pasifik mulai tahun 2003.
Kenyataan bahwa bukan Istana Jakarta yang dipakai untuk pertemuan
kepala negara APEC - dan tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok
yang diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta - barangkali membuktikan bahwa
Istana Merdeka maupun Istana Negara terlalu kecil untuk penyelenggaraan
peristiwa besar seperti itu. Terpilihnya Bogor sebagai tempat penyelenggaraan
Summit APEC adalah juga karena pertimbangan keamanan.
Istana Bogor juga pernah dipakai sebagai tempat penataran Manggala/Penatar
Nasional oleh BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila) antara tahun 1979-1996. Semula program ini
diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah. Setelah beberapa angkatan
berjalan, Presiden Soeharto kemudian menyarankan agar acara demikian
dilaksanakan di Istana Bogor.
Selama
penataran, para peserta tidur di kamar-kamar gedung utama maupun di paviliun-paviliun
Istana Bogor. Karena terbatasnya ruangan, satu kamar dihuni oleh sekitar tiga
peserta. Pengalaman seperti itu ternyata membuahkan kesan mendalam pada para
peserta. Ada
seorang pastor yang selalu bangun pagi dan membangunkan temannya sekamar - seorang
kiai - agar menunaikan salat subuh. Pak Harto juga sering datang dan ikut duduk
berdiskusi dengan para peserta penataran.
Boleh dikatakan semua pejabat tinggi negara dan anggota DPR hingga
periode 1998 telah melewati pintu Istana Bogor untuk menjalani penataran maupun
pembekalan. Mulai Januari 1996, di Istana Bogor diselenggarakan penataran yang
sifatnya berbeda sama sekali. Penataran untuk pejabat tinggi, semua Eselon 1,
gubernur, kepala staf angkatan, panglima, rektor, dan sebagainya yang lebih
ditekankan pada acara diskusi untuk mengantisipasi dampak globalisasi.
Di tempat
ini juga dilakukan Pembekalan Calon Anggota Legislatif dengan format diskusi
bebas sekitar masalah konstitusional dan isu mutakhir.
Dalam
peringatan "Indonesia Emas" - 50 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia
- di halaman belakang Istana dipentaskan orkes simfoni yang dipimpin oleh
konduktor Addie MS. Pada bulan April 1999, di tempat yang sama dipergelarkan
pula sebuah konser amal untuk mengumpulkan dana bagi program kemanusiaan.
Istana Bogor bahkan pernah menjadi tempat penyelenggaraan Pekan Buku
Internasional pada 1971. Belakangan ini, Istana Bogor makin sering dipergunakan
untuk pergelaran musik maupun kesenian yang lain.
Mengilas-balik
sejenak ke masa lampau, Wisma Dyah Bayurini yang dibangun Bung Karno, tidak
sempat dimanfaatkan seeara intensif oleh presiden pertama dan keluarganya
karena kondisi politik yang memburuk sejak 1965. Namun, penggantinya, Presiden
Soeharto, kemudian banyak memanfaatkannya, sebagai tempat bermalam bersama
keluarga. Di masa ini dibangun sebuah kolam renang untuk putra-putri Pak Harto
yang sebagian masih kecil-kecil dan sebagian lagi baru berangkat remaja. Ketika
putra-putri itu sudah semuanya dewasa, Wisma ini jarang dikunjungi. Akan
tetapi, ketika Presiden Soeharto sudah mulai memperoleh cucu-cucu, Wisma Dyah
Bayurini pun jadi kembali semarak. Ibu Tien Soeharto sering mengajak cucu-cucu
bercengkerama di tempat itu.
Pada masa Presiden Megawati, Istana Bogor
mengalami perubahan interior dengan mengganti gorden menjadi vitrase, dan
karpet wall-to-wall menjadi karpet lembaran dari Persia. Mebel-mebel bergaya art
deeD yang semula diadakan oleh Bung Karno untuk Istana Bogor karya bengkel mebel Tsu Jiek di
Jakarta - dikembalikan lagi ke tempatnya, untuk menggantikan mebel ukiran
Jepara yang sempat dipakai selama puluhan
tahun. "Mebel Bung Karno" itu terasa lebih hangat dan
akrab dengan suasana Istana Bogor.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar