Aksi
tawuran, kekerasan dan bentrokan pelajar atau mahasiswa kerap
ditayangkan di layar televisi. Fenomena apa sebenarnya yang terjadi di
kalangan generasi kita?
Seringkali
unjuk kekuatan dilakukan oleh elemen masyarakat pasca reformasi
ditandai mobilisasi massa dalam keperluan mendukung atau menolak calon
tertentu, demontrasi atau perbuatan anarkis. Seolah menjadi pelengkap,
tawuran di kalangan pelajar menjadi fenomena harus disikapi kritis.
Bila
ditelaah secara seksama, tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk
perilaku penyimpangan sosial-kolektif remaja. Tawuran berbuah dendam
berlarut-larut ditandai saling curiga mencurigai dan ancam-mengancam.
Ironisnya, rekan mereka tak tahu duduk persoalannya sering menanggung
“buah kerja” rekannya. Akibatnya, teror dan ketakutan menghantui
seluruh warga sekolah.
Tawuran
pelajar telah menjadi sebuah fenomena sosio-kultural dalam kehidupan.
Solusi pemecahannya bukan hanya melibatkan guru konselor dan orang tua,
tapi harus diselesaikan secara holistik dan langsung menyentuh kepada
akar persoalan yang paling mendasar. Kita ketahui bahwa masa remaja
adalah mencari identifikasi diri. Masa penuh keegoan dan pencarian
karakter. Suatu masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.
Mereka merasa bukan kanak – kanak lagi, tetapi mereka belum mampu
mengemban tugas sebagai orang dewasa. Karena itu, situasi ini membawa
remaja cenderung labil serta tidak mampu menyesuaikan diri secara
sempurna terhadap lingkungannya.
Di
lain pihak, ego itu pula direfleksikan melalui aktivitas berkelompok,
seperti: geng, atau sekolah sehingga tercipta semacam ikatan batin
antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelompoknya. Pada
fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai
perilaku negatif secara kolektif. Kepatuhan akan norma kelompok sangat
kuat dan seringkali mendobrak tatanan sistem nilai yang terbangun baik
di masyarakat.
Faktor penyebab tawuran
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Pediatrics Investigators Dimitri A.
Christakis, MD, MPH dan Frederick Zimmerman, PhD, pada rumah sakit
Seattle Children’s Hospital Research Institute dan University of
Washington School of Medicine menyimpulkan bahwa perilaku agresi yang
dilakukan anak usia remaja sangat berhubungan dengan kebiasaannya dalam
menonton tayangan televisi.
Faktor
lain bertanggung jawab adalah tidak optimalnya para pendidik
memberikan pola pendidikan kepada para anak didiknya. Ini berkaitan erat
dengan profil guru yang masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan
keluarganya sehingga curahan perhatian terhadap siswa lebih dipengaruhi
subyektifitas kondisi psikologis dan emosi di rumah seperti: rasa penat,
tekanan, atau pemarah. Akibatnya mudah tersinggung, mudah memvonis
atau memberi sanksi. Hal itu dapat menanamkan kesan negatif di mana
sekolah tidak ubahnya menjadi belenggu yang menindas ekspresi mereka.
Kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak pada pelajar. Seringkali kebijakan
yang dibuat hanya berdasarkan kebutuhan penguasa tanpa melihat dan
melakukan survei apa kebutuhan pelajar. Pelajar hanya sebagai objek
pendidikan sehingga eksistensi mereka tidak diakui, dan pendidikan
tidak membebaskan peserta didik dari belenggu tetapi pendidikkan malahan
menjadi tirani bagi mereka.
Pendidikan nilai di sekolah
Fenomena
maraknya tawuran pelajar tentunya sangat memprihatinkan kita. Apabila
permasalahan ini tidak tertanggulangi dengan baik maka dapat dipastikan
akan membawa dampak buruk bagi masa depan bangsa nantinya. Upaya
antisipatif terhadap tawuran pelajar mutlak dilakukan.
Menurut
Malik (2002), salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya
tawuran pelajar adalah krisis moral yang tengah melanda remaja. Padahal
moral adalah modal yang paling penting sebagai tameng bagi seseorang
untuk menjalani kehidupannya. Sehingga, pencegahan tawuran dapat
dilakukan secara efektif dengan memberikan pendidikan moral kepada
pelajar melalui reposisi pendidikan nilai di sekolah.
Berkaitan
dengan moral inilah pembelajaran budi pekerti harus kembali dihidupkan.
Sekolah yang diharapkan mampu memanusiakan manusia secara hakiki, bukan
menghasilkan “manusa robot” yang mengabdi pada pasar kapitalis dengan
mengorbankan keutuhan. Zaim ElMubarok (PR, 2/5) memaparkan
ketidakseimbangan itu dipicu akibat kesenjangan antara belajar yang
berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Lembaga
pendidikan sekadar mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil
material atau komponen lulusan yang dituntut pasar.
Ketimpangan
itu berdasarkan fakta, di mana perhatian dunia pendidikan lebih
terpusat pada hasil angka, yakni nilai ulangan, raport, ujian akhir,
dsb. Sementara mata pelajaran yang diharapkan memberikan pendidikan
nilai (afektif) seperti pendidikan agama atau pendidikan pancasila lebih
banyak diberikan secara teori (kognitif). Orientasi prestasi
akademik seringkali mengabaikan penanaman karakter siswa, di mana hasil
yang dicapai lebih didasarkan pada pencapaian angka diperoleh.
Kejujuran, ketekunan, tanggung jawab, kepercayaan, adalah karakter yang
hampir diabaikan dalam kenaikan atau kelulusan seorang siswa.
Mata
ajar yang menyangkut sikap hidup dan kepribadian sudah seharusnya
tidak boleh lagi menjadi beban yang memberatkan kognisi siswa, melainkan
harus menjadi gaya hidup (life-style) dan etos kerja. Pendidikan
nilai seyogianya tidak harus dipikul oleh sebuah mata ajar tertentu.
Namun tiap guru melalui mata pelajaran yang diampu, secara eksplisit
menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam mata ajarnya. Seorang guru harus
mengajarkan tiga ranah secara integral, yakni ranah kognitif, afektif
dan psikomotor. Atau dalam bahasa agama sering disebut integrasi ilmu, iman, dan amal.
Dengan
demikian, setiap guru berkewajiban melaksanakan pendidikan nilai tanpa
terkecuali. Pendidikan nilai bisa dilaksanakan melalui pelajaran apa
saja, bahasa Indonesia, pendidikan jasmani, fisika, komputer, dsb.
Contoh sederhana, bila guru olahraga menggenjot sebatas prestasi
olahraga anak dan mengabaikan pendidikan afektif, maka mungkin
menghasilkan atlet sukses, namun juga mencetak pribadi angkuh dalam
setiap kemenangan, melecehkan lawannya yang kalah serta mengabaikan azas
sportivitas, seperti: melegalkan doping atau kecurangan, dan mencederai
lawan. Bila guru ekonomi hanya menitikberatkan aspek kognitif saja,
niscaya bakal lahir kaum borjuis yang siap menghisap rakyat kecil dan
pola pikirnya dicekoki keuntungan dan keuntungan tanpa memiliki kepekaan
sosial dan kepedulian sesamanya.
Satu hal penting bagi guru, perlunya tampil sebagai teladan untuk digugu dan ditiru siswa.
Guru bertugas bukan hanya mengajar, tetapi lebih utama sebagai pendidik
yang dipundaknya digantungkan harapan untuk mencetak generasi bangsa
yang cerdas, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia. Dengan
demikian, pendidikan nilai bukan hanya dapat mengembalikan filosofi
dasar pendidikan Indonesia, namun juga karena Indonesia sebagai negara
Pancasila dapat kembali menumbuhkan nilai-nilai luhur yang menjadi ciri
kepribadian bangsa kita seperti: ramah-tamah, kesopanan, gotong
royong, tepa selira, dan lain-lain. Nilai-nilai ini akan membentengi
perilaku negatif siswa sehingga pendidikan bukan hanya menyediakan
manusia berintelektual tinggi, namun juga manusia yang merasa, peka,
jujur, santun, dan terpercaya. ***/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar