WILUJENG SUMPING..

DUH

Rabu, 17 Oktober 2012

Adilkah Bila Guru yang Disalahkan....?


Ditinjau dari sisi manapun, perbuatan guru yang melakukan kecurangan saat UN berlangsung atau memanipulasi hasil UN adalah salah. Kecurangan itu telah menyalahi peran, tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar dan pendidik.

Dalam kasus ini, guru telah mengingkari pentingnya nilai kejujuran. Sebagai pendidik, idealnya guru mampu bertugas dan berperan sebagai konservator (pemelihara), transmitor (penerus), transformator (penerjemah) dan organisator (penyelenggara) sistem nilai yang merupakan sumber norma bagi siswa dalam proses menuju kedewasaannya. Tapi adilkah bila semua kesalahan itu hanya ditujukan pada guru?

Bukan hanya siswa yang merasa tertekan dalam menghadapi UN, guru pun demikian, Ada keharusan tak tertulis yang meminta agar guru berhasil melatih siswa dengan baik sehingga mereka berhasil lulus. Tingkat kelulusan suatu sekolah akan berpengaruh terhadap tingkat kelulusan kabupaten/ kota dan berpengaruh pula terhadap capaian kelulusan tingkat propinsi.

Bila siswa berhasil, sukses, pintar, bukan guru yang dipuji dan dipandang berhasil mendidiknya. Siswa berhasil karena siswa itu sendiri memang pintar. Tapi bila siswa gagal, seringkali gurulah yang jadi kambing hitam dan sasaran empuk untuk menimpakan kegagalan itu. Guru dianggap tidak becus mengajar, melatih, memotivasi dan mengubah siswa.

Dari tahun ke tahun, standar kelulusan mengalami peningkatan. Tujuannya tak lain agar kualitas pendidikan pun meningkat pula. Yang jadi pertanyaan adalah percayakah kita pada hasil UN tahun-tahun sebelumya sebagai suatu hasil yang murni sehingga standar kelulusan perlu selalu ditingkatkan? Beberapa guru dari Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang melaporkan kecurangan pada UN 2007 lalu menandakan bahwa UN tahun lalu tidak murni. Tidak mustahil hal serupa juga terjadi di daerah-daerah lain. Hasil UN yang tak menggambarkan hasil sesungguhnya itu pun dijadikan tolok ukur kualitas pendidikan dan ditindaklanjuti dengan menaikan standar nilai kelulusan.

Dalam psikologi, sebuah aksi akan disambut oleh reaksi. Kecurangan dalam UN adalah salah satu reaksi negatif yang dipicu oleh rasa tidak percaya diri. Percaya diri bukan sifat yang bisa tumbuh dengan sendirinya. Percaya diri itu perlu dilatih, ditumbuhkan dan ditopang. Kita tak perlu ragu mengakui bahwa kita belum percaya diri untuk menampilkan dunia pendidikan kita di lingkup ASEAN sekalipun. Bagaimana bisa percaya diri, bila siswa belajar di kelas yang hampir roboh, dengan kondisi gizi yang mengkhawatirkan dan beragam persoalan yang membelit dunia pendidikan kita. Sejatinya, kondisi apapun bukan alasan untuk tak percaya diri. Tapi inilah kenyataannya. Pemerintah tidak bisa begitu saja menyamakan kemampuan siswa di seluruh nusantara dengan kondisi mereka yang berbeda.

Tuntutan pemerintah belum sebanding dengan apa yang dapat mereka berikan. Peningkatan standar nilai kelulusan yang tidak dibarengi dengan peningkatan dukungan standar minimal pendidikan membuat sekolah-sekolah terutama di daerah pinggiran merasa ragu dan tak percaya diri dalam menghadapi UN. Pemerintah pun tak bergeming dengan tuntutan pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN/APBD, malahan kenyataan pahit harus diterima karena gaji guru dimasukkan ke dalam anggaran hingga tiba-tiba anggaran pendidikan menjadi meningkat. Peningkatan yang semu.

Sekolah itu mahal. Tidak semua orang bisa menempuhnya. Tidak lulus adalah mimpi buruk. Terlebih bagi siswa dari kalangan tak mampu. Inilah alasan beberapa guru di Deli Serdang sehingga melakukan kecurangan saat UN.

Ironis. Para pahlawan tanpa tanda jasa itu digiring ke kantor polisi. Mereka harus mempertanggungjawabkan kesalahan karena bisikan nurani untuk menolong siswa dari ketidakadilan sistem pendidikan kita. Adilkah bila hanya para guru itu yang disalahkan? Sebenarnya mereka juga adalah korban.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar