WILUJENG SUMPING..

DUH

Minggu, 11 November 2012

Hingga Cahaya Berikutnya

Mungkin iya kemarin malam telah gerhana, dan bulan tak muncul sebagaimana mestinya, aku tak tahu menahu soal itu, yang kutahu malam itu aku pulang bersama rinai hujan yang tidak lebat tetapi tidak juga sebagai rintik-rintik, dan cukup membuatku gigil dan basah.

Yang kutahu angin tak begitu bersahabat ketika itu, bertiup cukup kencang dan membuatku hampir-hampir kehilangan keseimbangan, dan gelap adalah pelengkap yang sempurna.

Aku memandangi langit Tuhan, tak sebutirpun kudapati bintang terpantul di sana, dan mestinya bulan bulat penuh malam itu, mungkin serupa purnama atau sehari sebelumnya. Tapi langit malam itu adalah kosong yang sunyi.

Aku ingat pada keinginanku malam sebelumnya, untuk tak ingin menyaksikan purnama kali ini, karena pada purnama sebelumnya aku telah menggantung wajahnya di pucuk sempurna. Dan setelah itu ia padam serupa api yang menjadi bara, dan bara itu masih mengepul hingga saat ini di hatiku, bara yang melahirkan jelaga rindu dan debar-debar parah yang tak kunjung sembuh.

Itulah mengapa, aku tak ingin menyaksikan bulan mencapai puncaknya, karena aku yakin wajah samarnya akan kembali muncul dalam bias perak yang mistis. Seperti mistisnya ia yang raib dalam rahim tanpa permisi. Dan aku, tak ingin kembali menduga-duga.

Maka, pada gerhana kali ini aku juga tak ingin mengenang, “karena aku tidak menyukai fenomena alam apapun” kataku pada seorang teman yang memintaku untuk mengabadikan peristiwa tersebut. Sebenarnya aku sedang tak ingin menyaksikan langit, karena di sana tempat bulan menggantung.

Kataku lagi “Malam ini aku tak ingin melihat cahaya apapun” pada seorang teman yang lain yang memintaku melakukan hal serupa. “Karena melihat cahaya seperti melihat wajahnya yang selalu membuatku rindu.” Aku bersyukur karena ia mafhum dengan alasanku.

Mungkin iya malam kemarin telah gerhana, dan bulan tak muncul sebagaimaa mestinya, yang kutahu langit gelap dan tidak ada cahaya apapun dan itu membuatku lega karena tidak mendapati wajahnya di pucuk langit.

Mungkin iya malam kemarin gelap mencapai sempurnanya, tapi yang pasti rindu untuknya demikian parah hingga cahaya di mataku tak dapat kupadamkan, dan aku terbeliak hingga cahaya berikutnya muncul di ufuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar