Sepi Yang Menganiaya
Aku hampir tua dalam
kembaraku, warna-warna langit kulihat berubah dari satu warna ke warna yang
lain, begitu juga dengan cara angin menyentuh kulitku, kadang perlahan, kadang
bergerak liar menjelajahi ari-ari kulit.
Tapi cinta masih terus mengambang
dalam makna yang sesungguhnya, betapa definisi tidak mampu menjelaskan tentang
getaran yang hinggap, apalagi tentang rasa yang sering pecah tertabrak cahaya.
Bilakah lengkung bibir
menarik segaris senyum untuk pura-pura memberi jawaban? Bilakah kaki
mengayunkan langkah dengan ringan tanpa menggantung tanya di mata kaki. Dan,
patutkah kita bersembunyi di balik kabut yang menekuk subuh? Lalu perlahan
mentari menyingkap auratnya hingga ia benar-benar telanjang di hadapan waktu.
Berartikah embun yang
hinggap di pucuk sudut mata, sementara julur lidah matahari mengeringkannya
dengan demikian cepat, dan hebat, yang tersisa hanya gurat merah bekas
sesenggukan semalam. Kita telah terlalu lama dianiaya sepi yang panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar