Selalu
ada cerita yang membuat kisah kita tak pernah selesai. Sehari setelah
purnama, matahari begitu lantang dan mengirimkan denyut di atas
ubun-ubun. Melewati lorong-lorong sembunyi sehari setelah purnama, di
pucak siang yang begitu gagah, memiliki nikmat berbeda daripada
menyusurinya ketika langit baru saja basah, dan langit mulai temaram.
Debarannya
terasa lebih kencang, sebab lorong-lorong yang kulalui sepi dari lalu
lalang manusia, kesepian yang membuat mereka menaruh perhatian lebih
kepada siapa saja yang melintasi mereka. Gemericik air terdengar lebih
jelas, sebab mereka mendominasi suasana ketimbang beberapa manusia yang
memilih untuk diam, berdialog dengan diri sendiri atau sekedar
membolak-balikkan Koran, mengamati perkembangan politik terkini.
Dan
suara ketukan sepatuku di lantai terasa semakin nyaring saja, seiring
dengan berakhirnya lorong sembunyi, hingga akhirnya sampai di muara yang
membawaku menuju dunia lain. Dunia di mana alasnya terbuat dari karpet
tebal yang mewah dan lembut. Yang mampu menyirap suara gesekan sepatuku
sehingga mampu meredam debar yang semakin kencang di dalam hati. Dunia
yang jauh lebih sepi namun memberikan nuansa temaram yang nyaman.
Dunia
yang ketika kulihat sosokmu, bagai memasuki pusaran air di samudera
biru yang liar, segera aku tersedot ke dalamnya, dan ketika aku
menyadari, aku telah terdampar di pelukanmu yang datar. Wangi kulitmu
menyelusup ke rongga hidungku, bagai aroma lotus yang mampu memejamkan
mata, sekaligus mengendurkan syaraf-syaraf.
Ya,
sehari setelah purnama kali ini kita memiliki waktu lebih untuk sekedar
bercakap-cakap. Memang masih bagai ombak yang terus dikejar gulungan
berikutnya, kita pun terpaksa menyelingi antara menuntaskan rindu dengan
pembicaraan politik mengenai kandidat gubernur. Simulasi pencoblosan
menjadi semacam pertautan jari, jemariku yang tampak kecil bergelung di
jari-jarimu yang besar dan agak kasar.
Kita
bagai berlari dikejar dering-dering telepon penting dari orang-orang
seberang, bibir kita menarik segaris senyum, sebagai bentuk persetujuan
bahwa kita merasa terganggu. Tetapi kondisi itu hanya masalah peran yang
telah biasa kita tuntaskan.
Kita
pernah berlari sambil menautkan bibir, kita pernah berjalan sambil
bersulang, masing-masing membawa cawan rindu berwarna ungu. Kita pernah
melakukan semuanya, menyudahi ketergesaan dengan tenang, berjalan dan
bersikap santai dengan hati yang dilanda amuk gemuruh. Apalagi hanya
melewatkan sedetik waktu untuk menjawab telepon, lalu kita memiliki
waktu yang panjang untuk menyelesaikan gelisah.
Ini
dunia yang aku dapat melihat air bergemericik biru di bawahnya, dengan
hanya menyingkap sedikit tabirnya aku mampu melihat matahari dengan
utuh, berwarna jingga dan beranjak untuk lebih condong. Dan selebihnya
adalah warnamu yang menyelubungi seluruh inderaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar