WILUJENG SUMPING..

DUH

Sabtu, 20 Oktober 2012

Tata Urut Produk Hukum di Indonesia

From: DiktiGroup@yahoogroups.com [mailto:DiktiGroup@yahoogroups.com] On Behalf Of Nurfitri Thio
Sent: 04 Februari 2012 23:43
To: diktigroup@yahoogroups.com
Subject: [DG] Kedudukan Surat Edaran Pejabat Ditinjau dari Sudut Pandang Tata Hukum Indonesia
Dear All,
Bermula dari ada yang mempermasalahkan/meragukan kekuatan hukum Surat Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 yang menjadikan publikasi karya ilmiah sebagai syarat lulus, saya menjadi tertarik dan mencoba pelajari dari berbagai sumber bagaimana sebenarnya posisi surat edaran pejabat dalam tata hukum RI, apakah merupakan peraturan yang berkekuatan hukum atau hanya merupakan sebuah kebijakan atau himbauan untuk binaannya?
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ada di bawahnya
Hierarki peraturan perundang-undangan baru mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-undang No.1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
Dalam Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
  1. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
  2. Peraturan Pemerintah
  3. Peraturan Menteri
Selanjutnya hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 (situs 1, situs 2) pada halaman 12:
  1. Undang-undang Dasar 1945
  2. TAP MPR
  3. Undang-undang/Perpu
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan Pelaksana lainnya misalnya Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain lain
Selanjutnya tata urut peraturan perundang-undangan diubah lagi dengan TAP MPR No.III/MPR/2000 (situs 1, situs 2) menjadi:
  1. Undang Undang Dasar 1945
  2. TAP MPR
  3. Undang-undang
  4. Perpu
  5. Peraturan Pemerintah
  6. Keputusan Presiden
  7. Perda
Kemudian diperbaharui lagi dengan UU no. 10 tahun 2004 (sudah dibatalkan oleh UU no. 12 tahun 2011) (situs 1, situs 2):
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 menyebutkan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
  1. Undang-undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
UU no. 12 tahun 2011 merupakan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan YANG BERLAKU SAAT INI (situs 1, situs 2):
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
  1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
  1. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
  2. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Kedudukan Surat Edaran dalam tata hukum Negara kesatuan Republik Indonesia

A. Materi yang disampaikan dalam Kegiatan Implementasi Perangkat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan di Comer Palace Hotel, Temate, Provinsi Maluku Utara pada tanggal 28 April s.d. 1 Mei 2009.

Pembicara ke III: Sri Hariningsih, S.H., M.H.
Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Surat Edaran, dan Instruksi Presiden dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (situs 1, situs 2).
Butir 15
Produk hukum dalam bentuk " Surat Edaran" baik sebelum maupun sesudah berlakunya UU no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan pembentukan peratuaran perundang-undangan TIDAK dikategorikan sebagai PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, karena Surat Edarn kedudukan nya bukan sebagai peraturan perundangan-undangan, dengan demikian keberadaannya sama sekali tidak terikat dengan ketentuan UU no. 10 tahun 2004.

B. Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen no. 22 tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN MENDESAK.

Selanjutnya dalam Permendagri no. 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan (situs asli):
  • Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak
  • Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
  • Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.
Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia, norma hukum mencakup:
a. Norma tingkah laku terbagi 4:
  • Larangan
  • Perintah (harus atau wajib)
  • Ijin (dapat atau boleh melakukan sesuati)
  • Pembebasan dari suatu perintah (pengecualian)
b. Norma kewenangan terdiri 3:
  • Berwenang
  • Tidak Berwenang- Dapat tetapi tidak perlu dilakukan
c. Norma penetapan terdiri 2:
  • Kapan mulai berlaku suatu peraturan perundang-undangan
  • Penentuan tempat kedudukan suatu lembaga dsb.

C. Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Surat Edaran, dan Instruksi Presiden dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh: Drs. Zafrullah Salim, M.H.
Butir 7 dan 8 (situs 1, situs 2)
Surat Edaran merupakan suatu PERINTAH pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edaran Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya:
  1. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak.
  2. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan.
  3. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  4. Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Setelah membaca uraian di atas sudah dapat disimpulkan bahwa Surat Edaran adalah suatu perintah atau penjelasan yang tidak berkekuatan hukum, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya.
  • Himbauan Dirjen Dikti terkait publikasi karya ilmiah sebagai syarat lulus tidak bisa dibawa ke wilayah hukum, sehingga tidak dituruti pun tetap bisa meluluskan mahasiswa/bisa terbit ijazah karena kewajiban publikasi sebagai persyaratan lulus tidak pernah disebut dalam peraturan perundangan, tidak seperti akreditasi jelas ada disebut di UU Sisdiknas dan PP 19/2005 bahwa bagi Prodi tidak bisa terbit ijazah bila sampai pertengahan 2012 tidak terakreditasi.
  • Walaupun Surat Edaran tidak berkekuatan hukum, tetap bisa secara tidak langsung memberi sanksi ke dalam umpamanya PT yang tidak memiliki portal jurnal atau transkrip mahasiswa tidak mencantumkan publikasi bisa melemahkan peringkat komponen lulusan dalam proses akreditasi, atau dijadikan sebagai alasan penolakan suatu produk Dikti dsb.
  • Kemungkinan besar tidak akan termonitor pelaksanaannya namun sewaktu ada sesuatu penawaran dari Dikti maka laporan publikasi mahasiswa bisa aja dijadikan sebagai persyaratan. Beban kerja dosen yang merupakan kewajiban dosen tetap menurut PP dosen saja sulit terpantau, walaupun ada usaha dari PT/Kopertis mengumpulkan laporan beban kerja dosen, bukankah yang tidak menyerahkan juga tidak ada sanksi karena peraturan perundangan juga tidak ada singgung sanksi selain dijadikan sebagai persyaratan serdos, tunjangan profesi, perpanjangan BUP dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar