WILUJENG SUMPING..

DUH

Minggu, 22 Juli 2012

Alamku


Pesona Pantai Selatan Garut (1) : Gunung Geder, Manalusu, Cikandang, Karang Tepas


Wilayah selatan Garut merupakan dataran rendah yang memiliki garis pantai yang cukup panjang dan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Wilayah ini menyimpan segudang keindahan alam yang sangat menakjubkan namun sebagian besar dari keindahan tersebut belum di ketahui banyak orang.

Kita mungkin sudah mengenal indah nya pantai di Pameungpeuk atau Rancabuaya yang saat ini menjadi primadona tujuan wisata di selatan Garut, tetapi apakah anda pernah mendengar mengenai Pantai Taman Manalusu, Karang Tepas atau Sodong Parat ? Saya yakin banyak dari anda masih asing dengan nama-nama tersebut, sebagian tempat-tempat tersebut memang masih tersembunyi di balik bukit atau ladang, jangan kan papan petunjuk, jalan setapak pun kadang sulit ditemukan.

Sudah lama saya ingin berbagi mengenai keindahan Pantai Selatan Garut, karena kebetulan daerah ini merupakan kampung halaman saya. Desember 2010 yang lalu saya berkesempatan untuk menjelajah kembali Pantai Selatan Garut dari mulai Cikelet di sebelah timur hingga Rancabuaya di sebelah barat. Ingin tahu lebih jauh mengenai Pantai Selatan Garut? Mari ikuti jejak dan arah petualangan saya.

Pantai Gunung Geder

Pemberhentian pertama saya adalah di Pantai Gunung Geder. Pesona di pantai ini adalah pasir putih dan lanscape pantai-nya yang lurus landai.

View dari saung
Jalan menuju bibir pantai

Sejumlah fasilitas sudah tersedia di tempat ini namun masih kosong dan sepi. Ketika memasuki bibir pantai nampak belum terawat dengan baik, banyak ranting yang terbawa ombak berserakan disana-sini mungkin akan lebih baik jika sampah ini dibersihkan.
Kesan yang saya rasakan untuk pantai ini adalah pantai yang asli seperti belum terjamah oleh manusia.

Ranting-ranting yang terbawa ombak
Pantai Gunung Geder

Pantai Taman Manalusu

Perjalanan saya lanjutkan ke arah barat melalui jalan raya lintas selatan menuju Pantai Taman Manalusu. Namanya terdengar asing tidak seperti nama-nama pantai lain di daerah Garut yang biasanya terdengar sunda, konon nama ini diambil dari nama Karl Manalusu Tambunan yang menemukan pantai ini dan membuatnya menjadi taman pantai.

View ke arah barat
Selain panorama alam nya, pantai ini memiliki bunga karang dan rumput laut yang tumbuh di sepanjang bibir pantai pada kedalaman tertentu sehingga di sebutlah sebagai taman pantai.

Tidak hanya bunga karang dan rumput laut saja, Pantai Taman Manalusu juga kaya dengan ikan hias. Ikan hias ini tidak perlu di cari jauh sampai ke tengah laut, ikan-ikan ini ada di sela-sela karang yang terhampar sepanjang pantai. Ikan-ikan ini terbawa gelombang pasang dan terjebak di karang-karang ketika air laut menyusut.

Hamparan batu dan karang
Bersih jernih
Ikan hias biasanya ada dalam sela-sela karang ini

Suasana di Pantai Taman Manalusu terasa sejuk karena banyak terdapat pepohonan yang rindang. Disini juga banyak rumah-rumah penduduk sehingga tidak terlalu sepi seperti di Pantai Gunung Geder.

Bermain bola di sisi pantai dan pohon rindang

Sungai Cikandang

Sungai Cikandang merupakan salah satu sungai yang cukup besar, saya melintasi nya dalam perjalanan menuju Karang Tepas dari Pantai Taman Manalusu. Sungai ini beberapa kali telah digunakan untuk ber-arung jeram, uniknya arung jeram Sungai Cikandang adalah kita bisa terus mengayuh hingga bibir pantai.

Jembatan Cikandang
View ke arah utara

Karang Tepas

Tujuan selanjutnya adalah Karang Tepas, tempat ini hanya bisa diakses melalui jalan setapak, saya beberapa kali bertanya kepada warga sekitar karena tidak ada petunjuk arah dari jalan utama.

Jalan menuju Karang Tepas

Karang Tepas sungguh menakjubkan, saya serasa sedang berada di depan geladak kapal yang sedang menerjang ombak. Tepas dalam bahasa sunda berarti teras depan rumah dan memang Karang Tepas seperti teras yang menghadap lautan lepas. Sebagian warga sekitar sering menggunakan tempat ini sebagai tempat untuk memancing ikan.

View dari atas
View dari jalan masuk
View samping kiri 
View samping kanan
View belakang
View samping kiri belakang
Karang Tepas


 Pantai Selatan Garut (2) : Karang Sebrotan, Sodong Parat, Cicalobak

Sunset di Pantai Cicalobak
Setelah Karang Tepas perjalanan saya lanjutkan menuju Karang Sebrotan.

Karang Sebrotan

Disebelah barat Karang Tepas terdapat sebuah karang lagi yang oleh warga setempat di sebut Karang Sebrotan, nama Karang Sebrotan di ambil karena ombak yang menghantam karang ini seperti menyemprot ke atas karang.

Karang Sebrotan
Karang Tepas terlihat dikejauhan
Anak-anak memancing ikan
Tempat bermain anak-anak yang ekstrim
Rumah Burung Walet
Sodong Parat

Dari Karang Sebrotan ke arah barat kita akan melihat satu objek lagi yaitu Sodong Parat. Objek ini merupakan sebuah karang besar dan di bawahnya terdapat lubang yang tembus dari sisi satu ke sisi lainnya atau dalam bahasa sunda biasa di sebut parat.
View Sodong Parat dari Karang Sebrotan
Sodong Parat ada di bawah sini
Jalan turun ke Sodong Parat
Seperti kepala hewan ?
Sodong Parat dari sisi barat
Sodong Parat dari sisi timur
hmmm.. ?
Jalan kembali
Pantai Cicalobak

Pantai Cicalobak adalah best spot dalam trip saya kali ini, saya mendapatkan moment view yang sangat indah dari mulai terang, mendung, hujan hingga sunset benar-benar luar biasa, lokasi nya tidak jauh dari Sodong Parat dan berada tepat di samping jalan raya lintas selatan menuju Rancabuaya dari arah Cijayana.


Pantai Cicalobak merupakan teluk kecil dengan batu karang di samping kiri kanan nya, karena menjorok ke darat ombak lautnya tidak terlalu besar dan air nya pun dangkal sehingga relatif aman untuk berenang.

Garis awan mendung
cicalobak






































































































KELAS KITA


“Selamat pagi, anak-anak,” kata Pak Guru di senin pagi. “Selamat pagi, Pak,” jawab para murid.
“Bagaimana liburan kalian?” tanyanya.
“Sangat baik, Pak. Kami melempar banyak bola salju dan membuat boneka salju!”
“Jadi, kalian menikmati turunnya salju selama akhir pekan, ya” dia tersenyum pada anak-anak.
“Iya, Pak Guru, kami bersenang-senang,” mereka menjawab.
Pak Guru melihat ke sekeliling kelas dan mengernyitkan kening. “Bapak lihat ada dua orang murid yang tidak datang ke sekolah hari ini.”
“Benar, Salim dan Aisya tidak hadir hari ini.”
“Kalian tahu mengapa?”
“Mereka ada di rumah, Pak,” kata anak-anak. “Mereka pasti sedang sakit.”
“Itu artinya mereka pasti bermain di salju terlalu lama,” kata Pak Guru.
“Kami bermain di salju juga; akankah kami jatuh sakit, pak guru?” tanya anak-anak, waspada.
“Jika kalian tidak berhati-hati dan berada di luar bersama salju terlalu lama, kalian mungkin akan sakit.”
“Mengapa salju membuat orang sakit? Kami senang saat salju turun. Dan kami senang bermain di salju.”
Pak Guru menjelaskan: “Penyebab orang sakit adalah masuknya kuman ke dalam tubuh mereka. Seperti kalian ketahui, kuman adalah organisme yang tidak terlihat. Kuman masuk ke dalam tubuh kita dan mencoba membuat kerusakan. Bila kita tidak hati-hati akan kebersihan kita, dan makan tanpa mencuci tangan, kuman dapat masuk ke dalam tubuh kita dan menetap di dalamnya.”
“Apakah kita langsung sakit begitu kuma masuk ke dalam tubuh kita, Pak?” murid-murid ingin tahu.
“Tidak,” jawabnya. “Kita tidak selalu sakit. Saat Allah menciptakan kita, Dia memberikan tubuh kita sistem kekebalan yang menakjubkan untuk melawan kuman. Kita tidak menyadarinya, namun unsur sistem kekebalan ini melindungi tubuh kita layaknya sebuah pasukan. Setiap unsur dari sistem kekebalan yang sangat rumit ini melakukan tugasnya dengan sempurna.”
“Jadi, Pak, kenapa kita jatuh sakit? Apakah karena sistem kekebalan kita tidak melakukan tugasnya?”
“Tidak, pada orang yang normal, sistem kekebalan senantiasa bekerja. Tanpa pengetahuan kita, sistem kekebalan kita terlibat dalam peperangan besar melawan kuman. Pertama-tama, sistem kekebalan mencoba untuk mencegah kuman masuk dan tinggal di tubuh kita. Jika kuman berhasil masuk ke dalam tubuh kita, sistem kekebalan akan menghancurkannya dengan segera.”
“Jadi kenapa kita jatuh sakit?” mereka masih ingin tahu.
“Kalau kita berada di luar dalam keadaan dingin terlalu lama,” dia menjelaskan, “Dan jika kita tidak hati-hati saat kita makan, tubuh kita kehilangan kekuatan. Saat ini terjadi, sistem kekebalan kita menjadi lemah juga. Kuman yang belum dihancurkan berkembang biak dan menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh kita.”
“Jadi, saat ini terjadi, apakah kuman mengambil alih seluruh tubuh kita?” mereka bertanya.
“Tidak.” dia melanjutkan. “Pada saat itu, sistem kekebalan kita memulai peperangan yang bahkan lebih besar lagi melawan kuman. Karena perang besar yang terjadi dalam tubuh kita ini, kita mengalami demam, kita merasa kehilangan daya dan persendian kita mulai sakit.”
Para murid mengangguk. “Ya. Saat itu terjadi, kita harus berbaring di tempat tidur.”
“Tentu saja, saat itu terjadi, hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah beristiraha. Kalau kita dapat istirahat yang banyak dan minum obat pada waktu yang bersamaan, dan kalau kita memakan semua makanan kita, sistem kekebalan kita akan bertambah kuat dan membantu kita. Jadi, pada waktu singkat sistem kekebalan akan mengalahkan kuman dan melempar mereka keluar dari tubuh kita. Dengan cara ini, kita menjadi sehat kembali.”
“Sekarang kami mengerti mengapa kami sakit,” murid-murid berkata padanya. “Mulai saat ini, kami akan sangat berhati-hati.”
“Benar” Pak Guru berkata: “Allah memberikan kita nikmat yang sangat besar saat Dia menciptakan tubuh kita dan dengan sistem pertahanan semacam itu di dalamnya. Kita harus sangat berterima kasih kepada-Nya atas itu, dan menjaga diri kita sendiri agar kita tidak kehilangan kesehatan yang Dia berikan kepada kita.”
ADA YANG LANGGENG DI PESISIR INI
Titang Nurdin


ada yang langgeng di pesisir ini

bukan hamparan pasir yang setiap hari dibasuh ombak
bukan celoteh camar yang setiap senja berubah nadanya
bukan pula rumput laut yang setiap hari amisnya berlainan
ada yang langgeng di pesisir ini
mungkin rahim laut yang mengasuh koloni kerang pembentuk mutiara
barangkali tata bintang yang menuntun perahu berlayar malam
atau boleh jadi isyarat, terus-menerus bergetar di degup jantung kita
seperti nyanyian purba - siapa tahu ini sebuah mantera? -
ketika mencermati larik-lariknya kita diseret ke sebuah masa depan
tempat cakrawala mendekapi laut pada tepiannya:
alamat surat-suratmu yang susah kutebak titimangsanya
kapan kujumpa, kapan kau 'kan muncul dari pulau seberang sana
kuikat perjanjian dengan batu karang yang telah melewati pasang kesejuta
telah dibedakannya percumbuan kepiting dan sihir cahaya rembulan
telah dihapalnya bau musim gelombang dan musim sampah
di dadanya - begitu rapi, dan begitu tua - tersimpan bisikan malam:
seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan
ada yang langgeng di pesisir ini - kautangkapkah isyarat itu?

Carita Pondok (CarPon)  : 

Bulan Wanci Sareupna


Bulan beuki pias di awang-awang. Ukur dibaturan ku tilu béntang anu tingkariceup. Geus teu kadéngé deui gebyurna lambak. Geus teu kaciri deui runggunukna pilemburan jeung ngamparna pasawahan. Bieu, pabuburit, kapal geus miang ninggalkeun palabuan. Ninggalkeun salaksa katineung di ditu, di bali geusan ngajadi.
Asa cikénéh, tur asa detik bieu pisan, kuring nénjo marakbakna kembang samoja di pipireun imah. Tangkal samoja gigireun kuburan bapa, anu ku ema mah dipiara pisan. Malah saméméh ema ninggalkeun, nyusul bapa ka kalanggengan, ukur hiji anu diamanatkeun téh; pangmiarakeun tangkal samoja. Ayeuna, amanat ema téh kamomorékeun, lantaran kuring kaburu indit. Teuing saha nu bakal neruskeun miara éta tangkal samoja.
Indit téh éstuning taya kereteg ti méméhna. Teu boga niat ti anggalna. Malah henteu kungsi ngimpi-ngimpi acan. Isuk-isuk, basa kuring rék nyawang meletékna panonpoé nu baris maturan hirup kabeurangnakeun, Pa Érté ngaronghéap. Datangna teuing ti lebah mana, da ujug-ujug ngajanteng hareupeun. Katémbongna mani geus saged, beberengkes, bangun rék indit-inditan.
“Hayu atuh!” pokna.
“Hayu? Ka mana?” kuring kerung.
“Har, apan kamari geus dibadamian. Urang téh rék nyaba ka jauhna, ka alas peuntas. Urang nyiar kasenangan di ditu!”
“Asa kakara ngadéngé kuring mah?”
“Aéh-aéh, apan geus dibéjaan ti tangéhna ogé. Urang téh rék nyaba ka ditu. Matak harita bapa omat-omatan, sing loba ngumpulkeun bekel. Sing bisa ngajeuhjeuhkeun pakeun sarta ulah natambuh waktu. Bekel ieuh, kudu mawa bekel!”
“Kumaha atuh, da kuring mah teu boga nanaon?”
“Keun baé, kitu wéh. Buru-buru, bisi katinggaleun ku kapal!”
“Saha baé nu milu téh?”
“Loba. Geus taruluy batur mah!”
Mani asa rurusuhan indit téh. Asana mah, henteu mandi-mandi acan. Da éta, Pa Érté mani ngabebereg, henteu méré pisan témpo. Kuring nepi ka poho, henteu ngonci heula imah, henteu maraban domba, atawa nitipkeun pakaya jeung tangkal samoja ka nu aya di lembur.
“Keun baé da engké ogé aya nu ngurus!” cék Pa Érté sajeroning leumpang.
Nepi ka palabuan, enya baé geus ngagimbung loba jelema. Rombongan ti lembur kuring, misah di beulah wétan. Pa Kuwu, Pa Olot, Pa Lebé, Ulis Odang, Hansip Oding, Bah Wirya, katémbong keur ngabaredega. Panonna neuteup ka tengah jaladri. Bangun nu keur nyawang pikahareupeun.
Kapal anu rék mawa kuring – teuing ka mana, da Pa Érté can kungsi ngécéskeun – geus ngajugrug di basisir. Kapal anu nya badag nya jangkung, asa can kungsi manggih tandinganana.
“Geus kumpul saréréa?” cék Pa Lebé.
“Parantos sigana mah,” Pa Kuwu nu ngawalon téh.
“Hayu atuh urang indit ayeuna!”
Kabéh asup kana kapal. Dipingpin ku Pa Lebé. Tapi anéh, ari barudakna mah henteu sina milu. Kalah ka diantep ngajanteng di sisi basisir. Katémbongna, maranéhna bangun sedih naker. Loba nu carinakdak. Malah kadéngé lapat-lapat, aya nu ngahariring lagu Pileuleuyan. Euleuh, geuning aya nu maca tahlil sagala rupa.
Basa hatong kapal disada, asa aya nu ngajedud dina jajantung. Nya di basisir ieu pisan, saniskara katineung baris diteundeun, biheung kasampeur deui.
Nepi ka ayeuna, sajeroning nangtung dina dék kapal, kuring bingung kénéh. Rék ka mana ieu téh? Saenyana, éta pananya bisa ditepikeun ka Pa Érté, atawa ka saha baé. Ngan can aya waktu nu rinéh. Sabab kabéh ogé, keur anteng narangtung bari nyawang cai laut nu ririakan kasorot bulan nu beuki pias.
Nu ngajanteng di dék kapal téh, nu keur ngalamun kawas kuring, jumlahna teuing sabaraha urang. Ngajajar heuleut saméter. Kawas nu dikomando, leungeun maranéhna nangkeup harigu. Sorot panon ka jauhna, teu ngiceup-ngiceup.
Moal boa, ieu kapal keur nyuruwuk meulah jaladri. Gancangna teuing sakumaha, geus teu karasa.
Pa Érté ngajanteng pisan gigireun kuring. Teuing iraha jolna, da tadi mah anu ngajanteng lebah dinya téh Pa Olot. Asa manggih kasempetan pikeun nepikeun kapanasaran, Pa Érte gancang ditoél.
“Pa, rék kamana urang téh?”
“Engké ogé apal sorangan!” walonna bari henteu ngarérét-rérét acan.
Ngadéngé jawaban kitu mah, angger baé lebeng. Poékeun. Nya kapaksa baé, keur saheulaanan mah, dijawab ku sorangan. Dumasar kana sawatara kajadian harénghéng di lembur.
Bisa jadi, pangna Pa Lebé saparakanca ngajak miang téh, lantaran kaayaan lembur geus henteu pikabetaheun deui. Paceklik nu panjang. Kurang dahareun. Pagebug. Loba kasakit. Taneuh nu angar. Matak rungsing jeung henteu tingtrim. Enya ari nineungna mah, napel kénéh dina angen-angen. Tapi naon anu karasa ku kuring, moal bina jeung maranéhna. Miang ti lembur pikeun nyingkahan rereged. Ngan anu matak héran téh, boh Pa Lebé, boh nu séjénna, kawas nu mentingkeun sorangan. Naha ari anak pamajikan henteu dibawa, diculjeunkeun kitu baé? Saha nu ngurusna?
Kituna mah, aya alesan maranéhna indit ninggalkeun lembur ogé. Alesan anu ku kuring karasa jeung karampa. Méh kabéh anu ayeuna keur nangtung dina dék kapal, papada boga bangbaluh hirup. Ninggalkeun pasualan di ditu, di lembur. Pasualan anu nepi ka maranéhna miang ogé, biheung geus réngsé.
Kuring leumpang lalaunan. Mapay-mapay jajaran jelema-jelema anu keur narangtung nyawang jaladri. Kuring neuteup Pa Érté. Dina panon Pa Érté katara aya nu ngembeng. Boa manéhna keur ingeteun ka pamajikanana, da basa ditinggalkeun téh keur meujeuhna bureuyeung. Atawa inget ka anak anu keur meujeuhna kembang buruan. Kuring apal pisan, hirup Pa Érté ti baheula ogé henteu manggih kamarasan. Imahna nu nenggang di tungtung lembur, nu geus déngdék ka kénca alatan dihakan umur. Cék béja, ti barang rumah tangga Pa Érté hayang ngoméan éta imah téh. Keun bae panggung ogé, weweg-weweg atuh. Tapi tepi ka ayeuna ogé angger baé. Henteu robah, henteu kaganti golodog-golodogna acan. Kalah ka pamajikanana ririwit. Mindeng gering jeung kurang kasabaran, pédah hirup Pa Érté taya menyatna.
“Hésé geuning hayang ngawangun imah téh, Jang!” cék Pa Érté harita, hareupeun Pa Lebé.
“Cék kuring mah, jieun heula tihangna anu weweg!” walon Pa Lebé.
Enya, kawasna mah, pangna panon Pa Érté nepi ka ngembeng ogé alatan inget ka dinya. Inget ka imah anu henteu kungsi kaoméan.
Kuring ngaléngkah deui. Bagean Pa Olot ayeuna mah anu diteuteup téh. Sarua, sarua pisan, dina panonna aya nu ngembeng. Malah leuwih ngembeng ti panon Pa Érté. Naha Pa Olot téh inget ka budakna anu minculak ti batur? Enya, Pa Olot téh geus masagi dina dunya barana mah. Ngan sapopoéna teu weléh ngungun alum. Komo saprak Si Unéd mangkat rumaja mah. Si Unéd anu kakocapkeun sakola ka kota, mindeng nyieun masalah anu matak wirang Pa Olot. Komo apan, Pa Olot téh jadi jelema anu dipikolot, picontoeun urang lembur. Kari-kari ayeuna dikotoran ku kalakuan anak. Enya. Si Unéd anu sok mabok. Si Unéd anu – cék Pa Olot – jauh tina agama. Si Unéd anu kungsi ngagadabah Nyi Imas.
“Aing téh henteu bisa mingpin kulawarga. Henteu bisa ngalelempang paripolah anak!” kadéngé Pa Olot gegerendengan. Nyaritana bangun hanjelu naker. Kawas bijil tina haté nu pangjerona.
Kuring ngaléngkah deui. Pa Kuwu ayeuna mah anu diteuteup téh. Sarua, sarua pisan, dina panonna aya nu ngembeng. Malah katémbong geus aya nu ngalémbéréh. Nyarakclakan. Murag kana dék kapal. Naon anu dipaké sedih ku Pa Kuwu? Asana téh taya cawadeunana. Tur kuring henteu kungsi nyaksian Pa Kuwu meunang bangbaluh. Salila mingpin désa, asa taya codéka nanaon. Malah kapaké pisan. Enya, ari kabeungharanana mah misah ti batur. Imahna ngajengléng. Kakocapkeun bulan hareup mah rék meuli mobil. Pakayana nu lubak-libuk, cék manéhna sorangan, lain hasil idek-liher di balé-désa. Tapi meunang meres késang, ladang dug hulu pet nyawa. Kari-kari ayeuna, Pa Kuwu ogé milu indit jeung Pa Lebé. Naha henteu lebar ninggalkeun pakaya, ninggalkeun pamajikan bahénol, ninggalkeun kasugemaan hirup?
Naon anu keur diimpleng ku Pa Kuwu, henteu kabaca saeutik ogé. Tapi sanggeus sakitu lilana didagoan, Pa Kuwu méré jawaban. Kawas nu surti, kuring téh hayang nanya kitu.
“Di dinya moal apal, naon anu keur jadi kabingung. Sabenerna, ku di dinya ogé bisa dijawab. Bisa dirarasakeun. Naon anu ku di dinya dipaké handeueul satutas ninggalkeun lembur?” pokna.
“Kuring mah henteu boga nanaon, Pa Kuwu. Imah geus rék runtuh, sawah jeung tegal teu boga. Ukur hiji anu dipaké hanjelu téh, kuring geus ngamomorékeun amanat Ema, miara tangkal samoja!”
“Lain, aya kénéh sajaba ti éta,”
“Naon?” kuring dangah, neuteup Pa Kuwu nu paromanna angger, teu riuk-riuk, teu némbongkeun robahna semu.
“Pikiran baé ku sorangan!”
Lebeng. Henteu kapikir.
Bagéan Pa Lebé anu diteuteup téh. Sarua, sarua pisan, dina panonna aya nu ngembeng. Malah lain ngembeng deui, nyurulung mapay pipi, mapay beuheung, parat nepi kana sukuna.
Pa Lebé, kuring apal pisan. Lalaki anu sapopoéna teu weléh basajan. Imahna lebakeun tajug, ukur kahalangan tangkal jambu. Pa Lebé anu tara leupas ti kopéah jeung – sakanyaho – tara ninggalkeun istigpar. Nilik kahirupanana mah, Pa Lebé henteu kasebut bisa usaha. Malah tepi ka kiwari, hirupna angger nyorangan. Pamajikanana maot, sapuluh taun katukang. Ti harita, kawas henteu boga deui niat rarabi. Sapopoéna idek-liher di tajug. Mapagahan barudak nu hayang diajar ngaji.
Padahal, naon anu dipaké sedih pikeun Pa Lebé mah. Miangna ti lembur, asana mah henteu ninggalkeun kabeubeurat. Atawa melang ku tajug, bisi euweuh nu ngurus. Bisa jadi, ngan éta-étana anu dipaké hariwang ku Pa Lebé mah. Inggis taya nu bisa neruskeun tapak-lacakna.
Henteu kaburu bisa ngawangkong. Sabab lir dikomando deui, anu ngajaranteng dina dék kapal téh arasup ka jero. Tinggal kuring ngajanteng sorangan. Satadina mah rék nuturkeun, ngan asa betah kénéh. Sabab bulan anteng maturan peuting, najan sorotna beuki pias. Cai laut angger ririakan. Kapal terus ngabiur, ngabiur teuing ka mana.
***
Transmigrasi. Pindah ka alas peuntas. Néangan hirup jeung huripna. Di ditu, di tempat nu ayeuna rék dijugjug. Ukur éta anu aya dina ingetan kuring mah. Sabab rék ka mana deui, ari lain transmigrasi mah. Kawasna Pa Lebé saparakanca kapincut ku dongéng Mang Satibi baréto. Puluhan taun ka tukang, Mang Satibi kungsi indit ninggalkeun lembur. Anu séjénna mah, harita, kalah ka tingbirigidig diajak nyorang sagara téh. Ngan Mang Satibi anu beunang disebut nékad. Inditna kadua pamajikan. Henteu mawa bekel nanaon. Heuleut lima taun ti harita, Mang Satibi nganjang deui ka lembur. Terus ngadongéng, kumaha senangna di alas peuntas. Cék dongéng Mang Satibi, di ditu téh manéhna geus bisa nyieun gedong, meuli motor, meuli sawah jeung tanah. Padahal pagawéan sapopoéna mah henteu hésé, ukur ngurus kebon sawit.
Pasti. Pa Lebé saparakanca, kaasup kuring, rék transmigrasi. Rék ngarobah hirup di ditu, di alas peuntas. Eukeur mah kaayaan di lembur geus teu pikabetaheun, katurug-turug kawasna mah ingeteun kana dongéng Mang Satibi téa.
Ngan anéhna, nu aya dina kapal, bet henteu nyaritakeun kaayaan di ditu, di tempat nu rék dituju. Kalah ka patingharuleng bangun ngadadak manggih kabingung. Malah aya ti antarana anu nepi ka luh-lah, kawas peunggas harepan. Ilaharna mah, lamun rék nyanghareupan kabagjaan – sebut baé kahirupan di alas peuntas téh kabagjaan – lain ngeluk tungkul siga nu bingung. Malah sakuduna béar marahmay. Taya salahna sapanjang jalan gogonjakan, seuseurian, patingcakakak sangeunahna.
Enya, kaayaan di jero kapal téh kalah matak sareukseuk. Di ditu, di dieu, pinuh ku nu ngadon ngalamun. Taya nu katangén ngobrol ngalér-ngidul. Taya nu katémbong melenyun udud. Maranéhna kawas nu jongjon jeung dirina séwang-séwangan.
Kapal téh terus nyemprung meulah jaladri. Geus henteu kadéngé sorana, awahing ku tarik. Ngan anéhna, geus mangbulan-bulan, henteu nepi baé ka nu dituju. Kalah ka pengeusi kapal lir nu beuki tagiwur. Beuki anteng ngalamun. Beuki jongjon jeung dirina séwang-séwangan.
“Rék iraha nepina ieu téh?” kuring nanya ka Pa Olot. Tapi ditanya ngadon ngeluk, bari kapireng sorana inghak-inghakan.
“Ku naon Pa Olot?”
Henteu ngajawab.
Nyampeurkeun Pa Érté, sarua henteu ngawalon. Komo ari Pa Kuwu mah. Hansip Oding, Ulis Odang, Bah Wirya, sarua ngabaretem.
Kapal angger nyemprung, teuing rék iraha eureunna.
Pangeusina geus loba nu inghak-inghakan. Malah terus careurik patarik-tarik. Ngaguruh sapangeusi kapal. Kuring bingung pipetaeun, naha kudu milu ceurik? Tapi kapal angger nyemprung. Angger teu soraan. Kuring kukurilingan, ka rohang nahkoda. Tapi taya sasaha. Kapal maju ku sorangan. Kawasna, nahkodana ogé keur milu ceurik.
Teuing meunang sabaraha bulan, maranéhna ceurik téh. Lila-lila, tina ceurik téh, jadi patinggorowok patarik-tarik. Kaasup Pa Érté, Pa Lebé, Pa Kuwu, jeung nu séjénna.
“Hayang balik deui. Gancang balik deui!” pokna.
Tapi kapal henteu eureun. Jajauheun nepi malik arahna. Asa ketir nénjo kitu mah. Kaasup kuring bet hayang balik deui. Sabab asa aya nu tinggaleun di lembur téh. Enya, asa aya nu tinggaleun.
“Moal, karah kumaha ogé, anjeun moal bisa balik deui!” aya sora ti gigireun, basa kuring keur nangtung ngumbar katineung dina dék kapal. Sora anu agem. Tur kuring kakara ngadéngé sora sakitu agemna. Basa dilieuk, aya nu maké baju sarwa bodas ngajanteng.
“Saha anjeun?”
“Pangeusi ieu kapal!”
“Enya, tapi naha bet nyampeurkeun kuring?”
“Pédah wé, katémbongna siga nu bingung!”
“Naha anjeun henteu milu ceurik?”
“Naon nu perlu diceungceurikan?”
“Itu geuning batur mah …”
“Enya, maranéhna ceurik hayang balik deui ka lembur. Sadetik wé cenah. Aya nu tinggaleun di ditu!”
“Kabéh aya nu tinggaleun?”
“Enya!”
“Kaasup kuring?”
“Bisa jadi!”
“Ké, ari ieu kapal téh rék kamana? Geuning henteu nepi baé?”
“Engké ogé bakal nyaho!” pokna bari terus ngaléos.
Kuring ukur bati ngahulengna. Asa teu kaharti. Nu gogorowokan beuki tarik. Sora Pa Kuwu mani pangtarikna.
“Hayang balik deui!” cenah. Enya, dipikir-pikir mah, kuring ogé asa aya nu tinggaleun. Pamustunganana mah sapamadegan jeung maranéhna : hayang balik deui.
Tapi kapal terus nyemprung. Teu beunang dieureunkeun. Kalah cimatana pangeusina terus maruragan. Ngamalir dina dék-dék kapal. Terus ngeyembeng. Beuki loba. Beuki pinuh. Pamustunganana kapal déngdék pinuh ku cimata. Terus déngdék. Pangeusina patingkocéak. Kuring hareugeueun. Kapal beuki tilelep. Saméméh karem, kuring bisa kénéh neuteup bulan nu beuki pias …***
Saung Pangreureuhan, 2012
sumber: daluang.com

Misterius dan Eksotisnya Planet Tergelap yang Baru Ditemukan

"Mungkin nama yang tepat untuk menyebutnya adalah Erebus, nama dewa kegelapan Yunani Kuno."

planet,tata surya(thinkstockphoto)
Lewat pengamatan dengan teleskop luar angkasa Kepler milik NASA, pakar astronomi menyatakan penemuan planet gelap raksasa yang disebut dengan TrES-2b. Faktor penyebab kegelapan hingga kini belum terungkapkan.
Tingkat kegelapannya lebih pekat ketimbang batu bara. Dari kejauhan TrES-2b terlihat berwarna hitam pekat dengan sedikit pendar cahaya merah.
Astronom dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics di Cambridge, Massachusetts, David Kipping menyatakan, planet baru itu merupakan planet tergelap. TrES-2b diperhitungkan hanya memantulkan satu persen dari cahaya yang mengenai permukaannya.
"Lebih rendah daya pantul cahayanya daripada batu bara atau bahkan cat akrilik warna paling hitam, jelas membuat planet tersebut--sejauh ini--adalah planet tergelap yang pernah ditemukan," ujar Kipping yang sekaligus menjadi kepala studi.
TrES-2b mengorbit bintang berjarak tiga juta mil dengan suhu berada pada 1.800 derajat Fahrenheit (980 derajat Celcius). Kipping menambahkan, dari beberapa asumsi yang muncul, penyebab planet begitu gelap yaitu karena kelimpahan besar gas natrium dan titanium oksida. Namun ia mengaku, ada sesuatu yang menarik dan eksotik dari planet tergelap.
"Menurut saya, planet ini sungguh eksotik di antara planet luar (eksoplanet) lain. Ini adalah misteri yang menyenangkan. Mungkin nama yang tepat untuk menyebutnya adalah Erebus, nama dewa kegelapan Yunani Kuno," tuturnya lagi.
(Gloria Samantha. National Geographic News)